Kisah Para Rasul 7:20–22 Dididik oleh Allah untuk Tujuan-Nya

Pendahuluan
Kisah Para Rasul 7:20–22 mencatat bagian dari khotbah Stefanus di hadapan Mahkamah Agama. Ia sedang menjawab tuduhan bahwa dirinya menghujat Musa dan hukum Taurat. Dalam pembelaannya, Stefanus justru mengangkat sejarah Israel dan menunjukkan bahwa bangsa itu berulang kali menolak utusan Allah. Dalam bagian ini, ia berbicara tentang Musa—seorang yang dipilih dan dibentuk oleh Allah sejak lahir untuk menjadi pemimpin dan pembebas umat-Nya.
Teks ini berbunyi:
“Pada masa itulah lahirlah Musa, dan ia sangat elok rupanya di hadapan Allah. Tiga bulan lamanya ia diasuh di rumah ayahnya. Setelah ia dibuang, putri Firaun memungutnya dan mengasuhnya seperti anaknya sendiri. Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” (Kisah Para Rasul 7:20–22)
Ayat ini bukan sekadar catatan biografis, melainkan sebuah kesaksian tentang bagaimana Allah berdaulat membentuk seorang hamba-Nya melalui didikan, penderitaan, dan penyertaan ilahi. Allah bekerja secara providensial dalam setiap tahap kehidupan Musa—mulai dari kelahirannya, pendidikan Mesirnya, hingga panggilannya sebagai pembebas Israel.
Dalam artikel ini, kita akan merenungkan tiga hal besar:
-
Kelahiran Musa di tengah masa yang gelap: anugerah pemeliharaan Allah atas rencana-Nya.
-
Didikan Musa di istana Mesir: bentuk penyediaan Allah untuk panggilan besar.
-
Tujuan didikan Allah: membentuk seorang hamba yang rendah hati dan siap digunakan.
Kita akan melihat ketiganya melalui lensa teologi Reformed dan pandangan para pakar seperti John Calvin, Matthew Henry, dan John Gill.
1. Kelahiran Musa di Tengah Masa yang Gelap (Kisah Para Rasul 7:20a)
“Pada masa itulah lahirlah Musa, dan ia sangat elok rupanya di hadapan Allah.”
Stefanus memulai kisah Musa dengan frasa penting: “Pada masa itulah…” yakni masa ketika Firaun memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki Ibrani (Keluaran 1:22). Dalam konteks demikianlah, Musa lahir. Inilah cara Allah bekerja—di tengah kegelapan, Ia menyalakan terang.
a. Musa: lahir menurut pemeliharaan ilahi
John Calvin dalam Commentary on Acts menulis bahwa “Musa lahir bukan secara kebetulan, tetapi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Allah, agar kemuliaan kasih karunia-Nya nyata di saat bangsa-Nya paling terancam.” Musa menjadi bukti bahwa rencana Allah tidak bisa dihalangi oleh kejahatan manusia.
Bayi Musa disebut “elok rupanya di hadapan Allah.” Ini bukan hanya menunjuk pada keindahan fisik, tetapi pada kenan Allah terhadap bayi ini. Dalam istilah Calvin, “kecantikan Musa adalah tanda dari kasih karunia pilihan Allah.” Dengan kata lain, sejak awal kehidupannya, Musa sudah dikhususkan bagi maksud Allah.
b. Pemeliharaan keluarga yang takut akan Allah
Selama tiga bulan, orang tuanya menyembunyikan Musa (Ibrani 11:23). Mereka percaya bahwa Allah sanggup melindungi anak itu. Matthew Henry mengatakan, “Iman orang tua Musa adalah iman yang berani melawan ketakutan manusia; mereka mempercayai janji Allah lebih daripada ancaman raja.”
Kelahiran dan perlindungan Musa menggambarkan kedaulatan Allah dalam menegakkan rencana penebusan-Nya. Dalam sejarah gereja, Allah sering menumbuhkan pemimpin-Nya di tengah tekanan. Calvin menulis bahwa “Allah menumbuhkan biji gereja-Nya di dalam tanah penderitaan.” Begitu pula, Musa lahir di tengah kekejaman, namun di sanalah janji Allah tumbuh.
2. Didikan Musa di Istana Mesir (Kisah Para Rasul 7:21–22)
“Setelah ia dibuang, putri Firaun memungutnya dan mengasuhnya seperti anaknya sendiri. Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.”
Bagian ini menunjukkan bagaimana Allah memakai sarana duniawi untuk mempersiapkan hamba-Nya bagi pekerjaan rohani.
a. Providensia Allah melalui tangan putri Firaun
Setelah ibunya tidak dapat lagi menyembunyikan Musa, ia menaruh bayi itu di sungai Nil—tindakan yang tampak seperti menyerah, namun sesungguhnya adalah tindakan iman. Allah mengatur sehingga putri Firaun menemukannya.
John Gill menafsirkan bahwa “Allah yang menggerakkan hati putri Firaun untuk berbelas kasihan, agar musuh Israel sendiri menjadi pelindung anak yang akan menghancurkan kekuasaan Mesir.”
Perhatikan kebalikan yang luar biasa di sini: musuh Allah menjadi alat pemeliharaan Allah. Inilah misteri providensia—bahwa Allah berdaulat bahkan atas keputusan manusia yang tidak mengenal Dia.
b. Didikan dalam hikmat orang Mesir
Stefanus menyebut bahwa Musa “dididik dalam segala hikmat orang Mesir.” Orang Mesir terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, matematika, dan administrasi. Allah memakai semua itu untuk mempersiapkan Musa sebagai pemimpin yang kompeten.
Namun, seperti dicatat Calvin, pendidikan duniawi itu tidak membuat Musa sombong, sebab “roh Allah tetap menuntun Musa agar ia tidak terperangkap dalam kebijaksanaan dunia.” Dalam teologi Reformed, pendidikan umum (common grace) dapat dipakai oleh Allah untuk tujuan khusus (special grace). Musa adalah contoh orang yang mengalami common grace Mesir, tetapi dipakai untuk karya special grace Allah bagi umat pilihan-Nya.
c. Musa: berkuasa dalam perkataan dan perbuatan
Stefanus menegaskan bahwa Musa “berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya.” Ini menggambarkan seseorang yang berpengaruh, cakap, dan memiliki wibawa. Namun kemudian dalam Keluaran 4:10, Musa berkata bahwa ia “tidak pandai bicara.”
Ini bukan kontradiksi, melainkan perkembangan rohani. Seperti dijelaskan oleh John Calvin, “Musa dahulu berani dalam dirinya sendiri; setelah di padang Midian, ia menjadi sadar bahwa tanpa Allah ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Allah mengosongkan Musa dari kepercayaan diri duniawi agar ia hanya bergantung pada kuasa-Nya.
Di sinilah kita belajar bahwa pendidikan duniawi, pengalaman, dan keahlian tidak cukup untuk pelayanan Allah. Semua itu berguna, tetapi harus ditundukkan di bawah kuasa Roh Kudus. Allah sering membiarkan hamba-Nya mengalami kehancuran diri agar ia menjadi bejana yang siap dipakai.
3. Tujuan Didikan Allah: Membentuk Seorang Hamba yang Rendah Hati (Aplikasi Teologis dan Praktis)
Mengapa Allah mendidik Musa dengan cara yang begitu kompleks—lahir dalam bahaya, dibesarkan di istana musuh, lalu diasingkan ke padang gurun? Karena Allah sedang mempersiapkan Musa bukan hanya untuk memimpin, tetapi untuk melayani.
a. Proses ilahi dalam membentuk pemimpin rohani
Dalam teologi Reformed, Allah tidak pernah bekerja secara acak. Calvin berkata, “Tidak ada satu pun tahap dalam hidup orang percaya yang tidak diatur oleh tangan Allah.”
Bagi Musa, setiap tahap kehidupannya merupakan pelatihan rohani:
-
Rumah orang tua Ibrani: mengenal iman yang sejati.
-
Istana Mesir: mengenal hikmat dunia.
-
Padang Midian: belajar ketaatan dan kerendahan hati.
Semua ini adalah kurikulum Allah yang bertujuan membentuk karakter seorang hamba sejati.
b. Penderitaan sebagai sekolah anugerah
Matthew Henry menulis, “Orang-orang pilihan Allah sering kali dibesarkan di tengah penderitaan, karena di situlah mereka belajar bergantung sepenuhnya kepada Allah.” Penderitaan bukan hukuman, tetapi sarana pendidikan rohani.
Demikian pula gereja masa kini. Ketika gereja dianiaya atau berada dalam tekanan, Allah sedang mendidiknya untuk menjadi kuat, murni, dan berbuah. Seperti Musa, gereja dipanggil bukan untuk menikmati kemewahan Mesir, melainkan untuk memimpin umat keluar dari perbudakan dosa.
c. Didikan Allah menghasilkan hikmat rohani
Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menegaskan bahwa “hikmat sejati adalah pengetahuan tentang Allah dan tentang diri kita sendiri.” Musa telah mengenal dunia dan dirinya, tetapi belum mengenal Allah secara pribadi. Maka Allah menuntunnya ke padang gurun selama 40 tahun agar ia benar-benar mengenal Tuhan.
Gereja dan para hamba Tuhan juga harus melewati proses ini. Kadang Allah mengizinkan kita kehilangan kenyamanan agar kita memperoleh hikmat yang lebih tinggi—hikmat yang lahir dari persekutuan dengan-Nya.
d. Prinsip bagi gereja masa kini
Kisah hidup Musa mengajarkan bahwa Allah berdaulat mendidik umat-Nya melalui sarana yang kadang tidak masuk akal.
-
Ia memakai rumah musuh (istana Mesir) untuk mendidik Musa.
-
Ia memakai pengasingan (padang Midian) untuk menyucikan Musa.
-
Ia memakai penderitaan (keluhan bangsa Israel) untuk menggerakkan Musa.
Begitu juga Allah memakai berbagai keadaan untuk mendidik gereja-Nya. Gereja yang dianiaya justru bertumbuh; gereja yang dipurifikasi oleh penderitaan justru menjadi lebih kuat.
John Stott menulis, “Gereja yang tidak pernah menderita sering kali kehilangan kuasanya, tetapi gereja yang menderita karena Kristus menjadi alat kebangkitan rohani di dunia.”
4. Kristus: Musa yang Lebih Besar
Stefanus dalam khotbahnya bukan hanya menceritakan sejarah, tetapi menunjuk kepada Kristus. Musa adalah tipe (gambaran awal) dari Kristus.
-
Musa diselamatkan dari pembunuhan bayi oleh Firaun; Kristus diselamatkan dari Herodes.
-
Musa meninggalkan istana untuk menolong bangsanya; Kristus meninggalkan kemuliaan sorga untuk menebus umat-Nya.
-
Musa menjadi perantara perjanjian lama; Kristus menjadi perantara perjanjian baru.
Dengan demikian, Allah yang mendidik Musa adalah Allah yang juga mempersiapkan Anak-Nya untuk menjadi Juruselamat dunia. Pendidikan Musa di Mesir hanya bayangan dari penderitaan dan ketaatan Kristus yang sempurna.
John Calvin berkata, “Dalam Musa kita melihat contoh dari penebus yang sementara, tetapi dalam Kristus kita melihat penggenapan dari semua karya penebusan itu.”
Gereja hari ini dipanggil untuk mengikuti jejak Musa—dan lebih lagi, mengikuti teladan Kristus. Jika kita ingin dipakai Allah, kita harus rela dididik-Nya, bahkan melalui jalan yang sempit.
5. Aplikasi Praktis bagi Umat Allah Masa Kini
a. Percayalah pada providensia Allah
Allah memegang kendali penuh atas hidup kita, seperti Ia mengatur setiap detail hidup Musa. Tidak ada kebetulan dalam kehidupan orang percaya. Pekerjaan, penderitaan, bahkan masa-masa diam semuanya ada dalam rancangan ilahi.
b. Gunakan setiap kesempatan belajar
Allah memakai hikmat Mesir untuk melatih Musa. Maka, orang percaya pun harus menghargai pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman sebagai sarana anugerah umum yang bisa dipakai bagi kemuliaan Allah.
c. Biarkan Allah membentuk karakter kita
Sebelum Musa bisa memimpin, ia harus belajar menjadi hamba. Begitu pula kita: sebelum dipakai Allah secara besar, kita harus dibentuk melalui kesabaran, kerendahan hati, dan penyerahan diri.
d. Jangan takut pada masa “padang gurun”
Padang gurun adalah tempat Allah berbicara. Dalam kesepian dan penderitaan, Ia sedang mengajar kita untuk mendengar suara-Nya.
e. Lihatlah setiap tahap hidup sebagai bagian dari pelatihan ilahi
Baik keberhasilan maupun kegagalan, semua adalah pelajaran dari Allah. Seperti Musa, kita mungkin tidak mengerti sekarang, tetapi suatu hari kita akan melihat bahwa semuanya diarahkan untuk kemuliaan-Nya.
Penutup
Kisah Para Rasul 7:20–22 bukan sekadar biografi Musa, tetapi kesaksian tentang tangan Allah yang berdaulat membentuk pemimpin bagi umat-Nya.
Musa lahir di masa gelap, tetapi Allah menyelamatkannya. Ia dididik dalam hikmat dunia, tetapi Allah memakainya untuk maksud surgawi. Ia kuat dalam perkataan dan perbuatan, tetapi Allah mengosongkannya agar ia menjadi hamba yang bergantung pada kuasa ilahi.
Demikian pula gereja dan setiap orang percaya. Allah sedang mendidik kita melalui setiap musim hidup—agar kita siap untuk melayani Dia dengan hati yang tunduk, rendah, dan berani.
Seperti yang dikatakan oleh John Calvin:
“Allah tidak pernah memanggil seseorang tanpa terlebih dahulu mempersiapkannya, dan persiapan itu sering kali dilakukan melalui cara-cara yang tampak keras, tetapi penuh kasih.”
Kiranya kita belajar percaya dan menyerahkan diri pada tangan Sang Guru Agung yang mendidik kita bukan untuk kehancuran, tetapi untuk kemuliaan-Nya.
Soli Deo Gloria.