BERKHOTBAH DENGAN BERTANGGUNGJAWAB (2 TIMOTIUS 4:2)

Denny Teguh Sutandio.
PENDAHULUAN:

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Timotius 4:2)

I. SIGNIFIKANSI MEMBERITAKAN FIRMAN

Peringatan Rasul Paulus kepada anak rohaninya, Timotius di dalam nats ini adalah agar Timotius memberitakan Firman (Preach the word), bersiap sedia/bersiaga di dalam setiap waktu/situsiasi dan kondisi (sitkon), menyatakan apa yang salah, menegur, dan menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran (longsuffering and teaching). Mengapa Paulus memerintahkan Timotius untuk memberitakan Firman? Di 2 Timotius 4: 3-4, Paulus memberi tahu alasannya, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. 

Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Alasannya cukup jelas, yaitu di masa hidup mereka berdua telah ada bibit penyesatan yang akan bertumbuh makin besar, siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang tidak mau lagi menerima (atau bisa diterjemahkan tahan terhadap) ajaran yang benar/sehat, lalu mereka mengumpulkan guru-guru menurut kehendak mereka untuk memuaskan telinga mereka yang gatal (itching ears). Selain itu, mereka makin menjadi-jadi, mereka sengaja memalingkan (turn away) telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng (fables).

Bukan hanya di zaman Paulus dan Timotius, di zaman postmodern, kita menghadapi realita yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih parah. Di zaman postmodern, orang cuek dengan kebenaran. Gejala cuek-isme ini ditandai dengan gejala orang-orang postmodern yang sengaja memalingkan telinga mereka dari mempelajari Kebenaran, tidak sedikit orang Kristen termasuk di dalamnya. Sebaliknya, mereka lebih suka mendengarkan sesuatu yang menyenangkan telinga: yang lucu, penuh kesaksian, pengalaman, dll. Tidak heran, kepercayaan manusia zaman postmodern adalah kepercayaan yang kerdil, termasuk orang Kristen. 

Banyak orang Kristen di zaman postmodern adalah orang Kristen yang beriman kekanak-kanakan (childish faith). Apa itu beriman kekanak-kanakan? Artinya, mereka tidak pernah bertumbuh imannya di dalam pengertian akan Firman. Ketidaktumbuhan iman tersebut ditandai dengan malasnya mereka menggali kekayaan Firman, belajar theologi dengan membaca buku, dll. Selain itu, ketidaktumbuhan iman juga ditandai dengan ketidaksiapan mereka ketika mereka harus menghadapi penderitaan dan penganiayaan di dalam mengikut Kristus, karena mereka telah diajar bahwa mengikut Kristus pasti kaya, sukses, lancar, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. 

Kedua gejala inilah yang dikritik oleh penulis Surat Ibrani, “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil.” (Ibrani 5:12-13) 

Kata “kamu” di sini menunjuk kepada orang Kristen Yahudi (bdk. NIV Spirit of the Reformation Study Bible, hlm. 1978) yang telah mendengar Injil dari para rasul, tetapi tetap tidak mau (lebih tepatnya: malas) mengerti juga. Oleh karena itu, penulis Ibrani menegur mereka yang memiliki iman kekanak-kanakan yang tidak mengerti keagungan Kristus (baca konteks di dalam Ibr. 1-5:10; 6:1).

Dengan alasan dan kondisi seperti ini, Paulus mengingatkan Timotius untuk memberitakan Firman. Pemberitaan Firman ditekankan sungguh-sungguh oleh Paulus kepada Timotius. Di dalam 2Timotius 4:1, Paulus berkata, “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:” Ini berarti Paulus tidak sedang bermain-main ketika memerintahkan Timotius untuk memberitakan Firman. 

Pemberitaan Firman adalah hal yang serius. Keseriusan pemberitaan Firman Tuhan ini ditandai dengan mengaitkannya pada otoritas Allah (perhatikan kata-kata: Allah, Tuhan Yesus, dan -Nya). Seseorang yang memberitakan Firman adalah seorang yang mengkhotbah apa yang difirmankan-Nya demi memperluas Kerajaan-Nya. Tetapi sayangnya di zaman postmodern, pemberitaan Firman bukan lagi hal yang serius. Pemberitaan Firman tidak lagi mengkhotbahkan Firman Tuhan (Alkitab), tetapi lebih mengkhotbahkan hal-hal fenomenal, seperti kesaksian, lelucon, dll. Kesaksian, lelucon, dll tidaklah salah, tetapi jika itu yang ditekankan, maka itu bukanlah pemberitaan Firman. Oleh karena itulah, marilah kita memikirkan bersama-sama panggilan memberitakan Firman khususnya di dalam berkhotbah.

II. KHOTBAH DAN SIGNIFIKANSINYA

Khotbah adalah salah satu bentuk/acara liturgi di dalam semua gereja Kristen (Protestan dan Katolik). Bukan hanya digunakan di dalam gereja, di zaman para nabi di Perjanjian Lama, Tuhan Yesus, para rasul di Perjanjian Baru, para bapa gereja, dan para reformator, semua berkhotbah. Tetapi sayangnya di zaman postmodern, orang Kristen sudah menyepelekan signifikansi khotbah. 

Khotbah bagi banyak orang Kristen postmodern adalah khotbah yang tidak berarti apa-apa. Tidak heran, ketika khotbah mimbar disampaikan oleh pengkhotbah, banyak orang Kristen sendiri tidak menghargainya, misalnya dengan mengetik SMS, menerima panggilan HP, mengobrol, bersenda gurau, dll. 

Mereka memperlakukan khotbah seperti menonton film di bioskop, terserah mau didengarkan/disimak atau tidak. Akibatnya, orang Kristen seperti ini tidak memiliki pertumbuhan iman, karakter, dan nilai hidup, sehingga meskipun mereka menyebut diri “Kristen”, iman, karakter, nilai hidup mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang dunia yang berpusat pada manusia (antroposentris), misalnya mengukur segala sesuatu dari segi manfaat --> untung atau rugi (utilitarianisme), materi (materialisme), kesenangan (hedonisme), dll. 

Tidak heran juga, orang “Kristen” seperti ini tidak akan merasa bersalah, jika mereka membaca dan meng“iman”i buku-buku/ajaran-ajaran yang antroposentris, seperti buku Rich Dad, Poor Dad dari Robert T. Kiyosaki, buku The Secret, ajaran-ajaran psikologi humanis atheis dari para motivator seperti: “Success is My Right”, “Poor is Sin”, “Dahsyat!”, dll. 

Sudah saatnya, orang Kristen di zaman ini bertobat! Pertobatan itu dimulai dari pertama-tama memiliki hati dan pikiran yang ditundukkan di bawah Firman Tuhan (Alkitab) yang kesemuanya itu dikerjakan terlebih dahulu oleh Roh Kudus. Kedua, hati dan pikiran tersebut juga harus terbuka pada setiap khotbah yang berdasarkan Firman Tuhan yang ditafsirkan secara ketat. Lalu, apa signifikansi khotbah yang berdasarkan Firman Tuhan tersebut?

A. Khotbah Sebagai Sarana Untuk Mengajar Iman Kristen/Doktrin

Pertama-tama, khotbah dimaksudkan bukan sebagai sarana menghibur jemaat (entertainment), tetapi khotbah itu sebagai sarana untuk mengajar iman Kristen/doktrin. Pdt. Erastus Sabdono, M.Th. (gembala sidang GBI Rehobot, Jakarta) di dalam salah satu khotbahnya mengatakan bahwa gereja adalah sekolah Alkitab. Berarti, khotbah mimbar di gereja juga sebagai sebuah studi Alkitab dan doktrin. 

Mengapa khotbah sebagai sarana untuk mengajar doktrin? Karena khotbah yang mengajar doktrin iman Kristen adalah khotbah yang berisi sesuatu yang terpenting yang harus dipegang di dalam iman dan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, doktrin iman Kristen adalah doktrin/ajaran yang paling penting yang membentuk iman, karakter, dan kehidupan sehari-hari kita sebagai umat-Nya di dunia ini. 

Ketika khotbah tidak lagi mengajar doktrin, maka dapat dipastikan banyak orang “Kristen” meskipun menyebut diri “Kristen”, tetapi sebenarnya atheis praktis, materialis, hedonis, dan pragmatis. Mereka berani mengaku di depan umum sebagai seorang “Kristen” bahkan “melayani Tuhan”, tetapi mereka lah justru yang melarang nama Tuhan dan theologi dipakai di dalam ilmu sebagai pengejawantahan integrasi iman dan ilmu. 

Pertanyaan lebih lanjut, apakah berarti khotbah yang sudah mengajar doktrin secara bertanggungjawab pasti mengakibatkan semua jemaatnya beriman beres? Belum tentu juga, karena perubahan iman, karakter, dan kehidupan jemaat bergantung mutlak pada kuasa Roh Kudus yang menguduskan seseorang. 

Meskipun tidak semua jemaat tersebut beriman beres, gereja tetap perlu mengajar doktrin, karena Alkitab mengajar hal tersebut (baca lagi: 2Timotius 4:1-2). Bagi para pengkhotbah sendiri, sebelum mereka berkhotbah di atas mimbar dengan mengajar doktrin, hendaklah mereka menguji apa yang hendak mereka ajarkan, supaya apa yang mereka ajarkan tidak menyesatkan jemaat. Hal ini pun diajarkan Alkitab. Paulus memperingatkan anak rohaninya, Timotius, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” (1Timotius 4:16)

B. Khotbah Sebagai Sarana Untuk Menguatkan Iman Orang Kristen

Kedua, khotbah bukan hanya sebagai sarana mengajar doktrin, khotbah juga sebagai sarana untuk menguatkan iman orang Kristen. Artinya, khotbah itu harus menyampaikan berita/pesan Firman Tuhan yang menguatkan iman orang Kristen ketika mereka menghadapi masalah, kesulitan, sakit penyakit, dll. 

Dengan kata lain, khotbah bukan hanya memenuhi pikiran saja dengan doktrin, tetapi juga berimplikasi di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Alkitab, Paulus adalah seorang pengkhotbah yang berkhotbah dengan mengajar doktrin iman Kristen yang penting sambil menguatkan iman jemaat Kristen yang dia layani. Kepada jemaat di Roma, Paulus bukan hanya mengajar doktrin (Roma 1-11), tetapi juga menguatkan iman jemaat Roma, salah satunya nasihat/khotbah agar jemaat Roma saling menguatkan (Rm. 15). Hal yang sama juga terjadi pada Timotius sebagai anak rohani Paulus. 

Di dalam 2Timotius 1:12, Paulus menyampaikan khotbah/nasihatnya kepada Timotius tentang apa yang harus Timotius lakukan ketika berada di dalam penderitaan, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Timotius 1:12) 

Bagaimana dengan Anda yang melayani sebagai seorang pengkhotbah? Apakah Anda berkhotbah dengan mengandalkan semua bahan akademis yang Anda pelajari di sekolah theologi saja? Ataukah Anda hari ini berkomitmen menyeimbangkan antara mengajar doktrin dan menguatkan iman orang Kristen di tengah berbagai pergumulan hidup mereka?

C. Khotbah Sebagai Sarana Untuk Mendidik Karakter dan Kehidupan Kristen

Selain untuk mengajar doktrin dan menguatkan iman orang Kristen, khotbah juga sebagai sarana untuk mendidik dan membangun karakter dan kehidupan Kristen. Selain iman dibangun dan dikuatkan, orang Kristen juga perlu memiliki karakter dan kehidupan Kristen yang terintegrasi yang memuliakan Tuhan. 

Untuk itulah, khotbah mimbar seharusnya sebagai sarana mendidik jemaat Tuhan dengan karakter, moral/etika, perkataan, pikiran, dan perbuatan yang memuliakan Tuhan. Artinya, sang pengkhotbah harus memberitakan teguran bagi mereka/jemaat yang hidup tidak beres, misalnya selingkuh, mencuri, dll. 

Teguran-teguran seperti itu dimaksudkan agar jemaat tersebut dan jemaat lain memiliki karakter, etika, perkataan, dan perbuatan yang berpusat kepada Kristus dan memuliakan Tuhan. Sebelum menegur jemaat, sang pengkhotbah sendiri harus memiliki ia memiliki karakter, motivasi, moral/etika, perkataan, pikiran, dan perbuatan yang beres terlebih dahulu, sehingga apa yang disampaikannya memiliki kuasa mengubah jemaat.

III. ASPEK-ASPEK KHOTBAH

Lalu, apa yang perlu diperhatikan setiap pengkhotbah di dalam khotbah yang disampaikannya? Setelah kita memikirkan signifikansi khotbah, kita akan memikirkan dan merenungkan aspek-aspek khotbah. Prof. Stephen J. Nichols, Ph.D. di dalam bukunya Jonathan Edwards: A Guided Tour of His Life and Thought memaparkan tiga ciri khas khotbah orang-orang Puritan, yaitu: teks, doktrin, dan aplikasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. memaparkan tiga aspek/hal penting di dalam khotbah, yaitu khotbah yang: theologis, biblika, dan apologetis, dan saya menambahkan satu aspek lagi yaitu aplikatif.

A. Khotbah yang Theologis

Khotbah yang bertanggungjawab adalah khotbah yang theologis. Artinya, di dalam khotbah, sang pengkhotbah mengajar theologi sebagai pokok-pokok penting iman Kristen. Theologi di sini yang dimaksud adalah theologi sistematika, yang mencakup Doktrin Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Manusia dan Dosa, Doktrin Keselamatan, Doktrin Kristus, Doktrin Roh Kudus, Doktrin Gereja, dan Doktrin Akhir Zaman. Kedelapan doktrin di dalam theologi sistematika harus diajarkan di dalam setiap khotbah. Mengapa? Karena kedelapan doktrin ini adalah doktrin inti sebagai presuposisi iman Kristen yang bertanggungjawab. 

Sebuah khotbah yang bertanggungjawab dapat dinilai dari kesinambungan dan integrasi semua theologi/doktrin yang dia ajarkan. Sedangkan khotbah yang asal-asalan adalah khotbah yang didasarkan pada satu atau beberapa doktrin yang tidak berkaitan atau bahkan berkontradiksi dengan doktrin lain di dalam kedelapan doktrin ini. Misalnya, jika seorang pengkhotbah mengkhotbahkan Allah itu adalah Tuhan, Raja, dll, lalu ia juga mengkhotbahkan bahwa orang Kristen minta apa saja pasti Tuhan berikan. 

Contoh khotbah ini jelas tidak bertanggungjawab, karena adanya kontradiksi. Di mana letak kekontradiksian khotbah ini? Dalam contoh ini, sang pengkhotbah mengajar bahwa Allah adalah Tuhan, Raja, dll tanpa (mau) mengerti apa arti sesungguhnya konsep ini dari Alkitab, sehingga akhirnya ia mengajar konsep Allah menurut anggapannya sendiri lalu dikaitkan dengan ajaran bahwa minta apa saja pasti Tuhan berikan. Kalau benar bahwa orang Kristen minta apa saja pasti Tuhan berikan, bukankah Allah bukan lagi sebagai Raja, Tuhan, dll, tetapi sebagai pembantu/budak kita? Di sini letak kekontradiksian khotbah tersebut.

B. Khotbah yang Biblika/Ekspositoris: Homiletika dan Hermeneutika

Khotbah yang theologis harus diimplementasikan di dalam aspek khotbah kedua, yaitu khotbah yang Biblika. Artinya, khotbah yang bertanggungjawab adalah khotbah yang mengeksposisi Alkitab per pasal/ayat, sehingga jemaat mendapatkan konsep yang menyeluruh akan kebenaran Firman. Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, dan para reformator mengajarkan pola ini yaitu mengeksposisi setiap bagian Alkitab di dalam khotbah pada kebaktian/ibadah, sehingga jemaat mendapatkan berkat firman Tuhan secara menyeluruh, bukan parsial (sebagian). 

Apa arti mengeksposisi setiap bagian Alkitab? Artinya, di dalam khotbah, pengkhotbah menyampaikan eksposisi satu kitab, misalnya Injil Matius di dalam rangkaian seri setiap Minggu. Misalnya, minggu pertama, si pengkhotbah mengkhotbah Matius 1 ayat 1, lalu pada minggu berikutnya, ia mengeksposisi Matius 1 ayat 2, begitu seterusnya sampai keseluruhan Injil Matius selesai. Setelah selesai, si pengkhotbah juga mengeksposisi kitab lain dalam Alkitab, misalnya Surat Roma, dll. 

Di sini, saya mendapatkan istilah dari Pdt. Dr. Bambang H. Widjaja (Gereja Kristen Perjanjian Baru – GKPB) di dalam Majalah Rohani BAHANA, yaitu homiletika (ilmu berkhotbah) harus dikaitkan dengan hermeneutika (ilmu menafsirkan Alkitab). Untuk mengeksposisi setiap bagian Alkitab, diperlukan hermeneutika atau ilmu menafsirkan Alkitab. 

Agar kita dapat menjelaskan ayat per ayat di dalam sebuah pasal di dalam satu kitab di Alkitab, kita perlu menafsirkan ayat tersebut dengan memerhatikan beberapa poin penting, misalnya: latar belakang kitab yang akan kita eksposisi, perbandingan terjemahan Indonesia dengan Inggris, Mandarin (kalau bisa berbahasa Mandarin), dll sampai ke bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani), konteks ayat tersebut dan kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kaitan bagian/ayat tersebut di dalam kitab tersebut dengan bagian lain di dalam kitab sejenis dengan penulis yang sama dan kitab lain baik dari Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB), dan terakhir perbandingan tafsiran ayat yang kita selidiki/khotbahkan ini dengan tafsiran dari para penafsir Alkitab baik dari para bapa gereja, theolog, maupun para ekspositor Alkitab lainnya. 

Jika kita benar-benar memerhatikan konsep ini, maka khotbah ini tidak akan pernah habis-habis, karena kita menggali kelimpahan berita Alkitab ayat per ayat, bagian per bagian, dll. Pdt. Dr. Stephen Tong telah mencontohkan hal ini di mana beliau mengeksposisi Surat Roma, Ibrani, Yakobus, dll sudah bertahun-tahun. 

Tetapi “kelemahan” pola seperti ini adalah para pengkhotbah dituntut untuk mengeksegese Alkitab (menafsirkan Alkitab dengan mengeluarkan makna Alkitab seseungguhnya) secara teliti, di mana tuntutan ini menyita waktu yang sangat lama. Jika pengkhotbah dituntut seteliti ini, maka pengkhotbah tersebut tentu tidak bisa berprofesi ganda misalnya sambil menjadi pendeta sambil bekerja sekuler (seperti: jadi dokter, dll).

C. Khotbah yang Apologetis

Ketiga, selain theologis dan biblika, khotbah seharusnya apologetis. Artinya, khotbah harus memberikan pertanggungjawaban iman Kristen di tengah dunia berdosa. Ketika dunia mengajar konsep-konsep yang berpusat pada manusia (antroposentris), misalnya bagaimana menjadi kaya, dll, khotbah di mimbar harus mengajar konsep-konsep Firman (berpusat pada Allah/Kristus – theosentris/Kristosentris) yang bertolak belakang dengan konsep manusia. 

Dengan kata lain, khotbah yang bertanggungjawab bukan meniru konsep dunia, tetapi menantang konsep dunia untuk ditundukkan di bawah Ketuhanan Kristus! Kita bisa menantang dunia berdosa karena kita memiliki wahyu khusus (Kristus dan Alkitab) yang memiliki konsep yang lebih agung dan bijaksana dari semua konsep dunia berdosa. Sudahkah Anda sebagai pengkhotbah mengkhotbahkan konsep theosentris yang bertentangan dengan konsep dunia yang antroposentris? Ataukah kita mengkhotbahkan konsep yang sama dengan konsep dunia demi menyenangkan konsep (“iman”) pendengar/jemaat?

D. Khotbah yang Aplikatif (Memberitakan Firman)
Di dalam khotbah harus ada unsur berita sebagai aplikasi dari khotbah yang theologis, biblika, dan apologetis. Di sini, saya mengaitkan khotbah dengan pemberitaan Firman Tuhan. Khotbah bukan hanya masalah teknik pidato/khotbah (di dalam theologi disebut homiletika), bukan hanya masalah penguasaan bahan secara akademis, tetapi khotbah yang terpenting adalah berita (message). 

Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam master-class dengan tema, “Kuasa Dalam Pelayanan Berita Mimbar” mengajar bahwa pelayanan khotbah mimbar adalah pelayanan yang memberitakan Firman, bukan transfer data. Apa beda berita dengan data? Berita/pesan (di dalam khotbah mimbar) berarti pernyataan kembali apa yang telah Allah wahyukan di dalam Alkitab (bersifat dinamis), sedangkan data itu statis. Pdt. Stephen Tong memberikan contoh yang saya parafrasekan. Misalnya, melalui surat kabar/koran, kita mendapatkan data tentang kelulusan siswa/i sekolah tahun ini, sedangkan jika seorang ibu memberi tahu anaknya bahwa anaknya lulus, itulah berita. 

Anak bukan mendapatkan data dari ibunya, tetapi pesan/berita, di mana berita itu didapatkan sang ibu dari berita di koran. Banyak gereja Protestan/Reformed yang mementingkan doktrin, melupakan aspek berita di dalam khotbah mereka. Mereka sibuk menggali Alkitab sampai ke dalam bahasa Ibrani dan Yunani, membandingkan banyak terjemahan, mengutip segudang tafsiran orang lain akan satu ayat/nats Alkitab bahkan di dalam khotbah mimbar, tetapi mereka lupa menyampaikan berita/pesan pribadi bagi jemaatnya sebagai aplikasi. 

Sebaliknya, di dalam banyak gereja kontemporer, para pengkhotbah terlalu banyak memerhatikan aspek berita, bahkan terlalu ekstrim, sampai mengklaim bahwa mereka menerima “wahyu” baru, lalu membuang semua studi Alkitab yang kritis dan teliti. Reformed Injili mau menyeimbangkan kedua hal ini. Di satu sisi, tetap memerhatikan studi eksegesis Alkitab yang ketat dan berita yang segar yang disampaikan di atas mimbar.

Lalu, apa yang harus kita beritakan di dalam khotbah? Untuk itu, kita perlu belajar dari Alkitab, tentang berita apa saja yang dikhotbahkan baik oleh para nabi di PL, Tuhan Yesus, dan para rasul di PB. Berita tersebut saya bagi menjadi tiga:

1. Berita pertobatan
Nabi Natan diutus untuk menegur Raja Daud yang berdosa (2Samuel 12:7). Nabi Yesaya diutus Tuhan untuk memberitakan pertobatan bagi orang Israel, “Bertobatlah, hai orang Israel, kepada Dia yang sudah kamu tinggalkan jauh-jauh!” (Yesaya 31:6) Begitu juga dengan nabi Yeremia (Yeremia 25:5). Hal yang sama juga dilakukan nabi Yehezkiel, Hosea, dll. Nabi Yunus diutus untuk memberitakan berita pertobatan bagi negeri Niniwe (Yunus. 3:4). 

Di dalam Perjanjian Baru, Yohanes Pembaptis memberitakan berita pertobatan di padang gurun Yudea sebagai jalan untuk menyambut Tuhan Yesus (Matius 3:2). Tuhan Yesus juga memberitakan berita pertobatan kepada manusia yang hidup pada zaman-Nya (Matius 4:17). Para rasul Kristus pun memberitakan berita yang sama yaitu berita pertobatan. Semua ini menunjukkan bahwa pemberitaan Firman Tuhan tidak bisa dilepaskan dari berita pertobatan manusia berdosa agar mereka kembali kepada Tuhan Allah. 

Tetapi sayangnya, di zaman postmodern, berita ini sudah jarang didengar. Yang didengungkan di atas mimbar adalah khotbah yang menjanjikan kemakmuran, kesuksesan, kelancaran, kesembuhan, dll bagi semua orang yang mengikut Kristus. Selain itu, para pengkhotbah tidak menegur dosa jemaat, malahan menutupi dosa tersebut dan mengkambinghitamkan setan sebagai penyebabnya. Contoh, jika ada jemaat yang berzinah, bukan jemaatnya yang ditegur supaya bertobat, tetapi roh/setan zinahnya yang ditengking. 

Dari dulu sampai sekarang, Alkitab memberi tahukan bahwa setan dari sananya memang penggoda dan penipu, sehingga kalau manusia mau digoda setan, itu salah manusianya mengapa ia mau ditipu oleh setan, bukan salah setannya.

2. Berita kasih karunia
Selain berita pertobatan, Alkitab juga mengajar bahwa para nabi, Kristus, dan para rasul pun memberitakan berita sukacita yaitu kasih karunia Allah. Allah melalui Yeremia mengajar, “Bertobatlah masing-masing kamu dari tingkah langkahmu yang jahat dan dari perbuatan-perbuatanmu yang jahat; maka kamu akan tetap diam di tanah yang diberikan TUHAN kepadamu dan kepada nenek moyangmu, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.” (Yeremia 25:5) Konteks Perjanjian Lama menjelaskan bahwa berkat/kasih karunia Tuhan selalu berbentuk jasmani, karena itulah tanda penyertaan Tuhan. 

Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus memberitakan kasih karunia kepada mereka yang percaya, yaitu mereka akan memperoleh hidup yang kekal/tidak binasa (Yohanes 3:16), hidup berkelimpahan (Yohanes 10:10b), dll. Rasul Petrus yang berkhotbah dengan kuasa Roh Kudus di hari Pentakosta memberitakan berita pertobatan ditambah kasih karunia, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.” (Kisah Para Rasul 2:38) Rasul Paulus juga memberitakan anugerah Allah yang menyelamatkan manusia dari jerat dan kuasa dosa (Roma 3:23-26). 

Di sini, kita melihat kesinambungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tentang berita kasih karunia yang diberitakan selain berita pertobatan. Beberapa gereja hanya menekankan berita pertobatan dan tidak memberitakan berita kasih karunia. Ini juga salah, karena Alkitab mengajar dua hal ini secara seimbang. Berita kasih karunia ini diberitakan dengan tujuan agar umat pilihan-Nya bertobat dan kembali kepada-Nya. Ini berarti anugerah Allah mendahului dan mengakibatkan terjadinya pertobatan sejati.

3. Berita penghukuman
Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai banyak kali Tuhan berfirman melalui para nabi-Nya selain berita pertobatan, juga disertai berita penghukuman. Berita penghukuman ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu: berita penghukuman bagi umat pilihan-Nya agar mereka bertobat dan berita penghukuman kekal bagi manusia yang bukan termasuk umat pilihan-Nya.

a. Berita penghukuman bagi umat pilihan-Nya
Berita penghukuman pertama ditujukan bagi umat pilihan-Nya dengan tujuan agar umat-Nya bertobat dari dosa-dosa mereka dan kembali kepada-Nya. Berita penghukuman ini bisa berupa penghukuman langsung atau teguran keras berupa hajaran, dll. Di dalam Perjanjian Lama, setelah menegur dosa Daud, nabi Natan memberitakan penghukuman kepada Daud yang berdosa (2Samuel 12:10-15). 

Di dalam Perjanjian Baru, kepada jemaat di Laodikia, Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19) Penghukuman Tuhan berupa hajaran ini dimaksudkan agar jemaat di Laodikia tidak suam-suam kuku dan tidak sombong (baca ay. 15 dan 17). 

Kedua bagian Alkitab PL dan PB ini mengingatkan kita bahwa Tuhan yang mengasihi adalah Tuhan yang menghajar anak-anak-Nya bahkan dengan keras agar anak-anak-Nya bertobat. Hajaran Tuhan mungkin terasa sakit sekali, tetapi percayalah, tujuannya adalah supaya kita bertobat dan kembali kepada-Nya. Mungkin sekali untuk menghukum kita agar tidak tamak uang, Tuhan menghajar dan menghukum kita dengan membuat kita bangkrut. 

Ketika Tuhan menghukum kita demikian, introspeksilah diri kita apakah kita telah berbuat dosa yang menyakitkan hati-Nya dengan mengilahkan uang/harta kita (mamon)? Jika ya, segeralah bertobat dan kembali kepada-Nya, serta tidak tamak akan uang, tetapi beriman total kepada Tuhan.

b. Berita penghukuman kekal bagi manusia yang bukan termasuk umat pilihan-Nya.
Berita penghukuman kedua adalah penghukuman kekal yang diterima bagi mereka yang bukan termasuk umat pilihan-Nya. Kekristenan postmodern berusaha menghapuskan ajaran predestinasi ini dengan dasar bahwa Tuhan memilih semua orang untuk diselamatkan. 

Tidak. Alkitab mengajar bahwa Allah memilih beberapa orang untuk diselamatkan dan secara otomatis, membuang sisanya (bdk. Roma 8:29-30; Efesus 1; 1Ptr. 1:2). Kepada mereka yang tidak dipilih, Tuhan memberitakan penghukuman kekal bagi mereka. Di dalam Perjanjian Lama, Ia menghanguskan bangsa kafir (non-Israel) karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus memberitakan penghukuman kepada para penyesat. Hal ini tercantum di dalam Matius 18:6-9, “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. 

Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.” Ia tidak segan-segan menghajar siapa pun yang tidak mau bertobat bahkan menyesatkan. 

Kristus juga memberitakan berita penghukuman bagi mereka yang menolak-Nya (Yohanes 3:18b), setelah Ia memberitakan anugerah hidup kekal bagi mereka yang percaya (Yohanes 3:16b, 18a). Kepada jemaat di Pergamus, Tuhan Yesus berfirman, “Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini.” (Wahyu 2:16) Penghukuman ini dialamatkan kepada jemaat Pergamus yang menganut ajaran Bileam (ay. 14). 

Penghukuman serupa juga dialamatkan kepada jemaat di Tiatira yang menganut ajaran Izebel (Wahyu 2:20) yang menipu jemaat untuk berzinah baik jasmani maupun rohani yaitu, “Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu.” (ay. 22) Tuhan tidak pernah bermain-main dengan dosa manusia khususnya yang bukan umat pilihan-Nya. Selain berita anugerah, kita juga dituntut memberitakan berita penghukuman, meskipun orang (Kristen) postmodern tidak suka mendengarkannya. 

Lalu, apa makna berita penghukuman kekal ini diberitakan di dalam khotbah? Ada dua, yaitu: pertama, agar manusia dunia sadar bahwa dosa bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Setiap dosa yang keji harus menerima hukuman yang berat. Kedua, agar umat Tuhan juga sadar adanya realita pembeda yaitu anak-anak Tuhan sejati di dalam gereja vs anak-anak setan yang masih indekos di dalam gereja Tuhan. Jangan pernah mempermainkan Allah, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibrani 12:29)

IV. KHOTBAH DAN TEKNIK BERKHOTBAH (HOMILETIKA)

Sesudah memikirkan signifikansi dan aspek khotbah, sekarang kita akan memikirkan teknik berkhotbah. Seperti telah dijelaskan di atas, saya sudah menjelaskan khotbah yang terpenting bukan transfer data akademis yang kita dapatkan di sekolah/seminari theologi dan bukan juga teknik berkhotbah yang bagus, tetapi khotbah yang terpenting adalah khotbah yang memberitakan Firman. 

Konsep ini benar, tetapi ada tendensi lain di balik konsep ini yaitu tidak mementingkan teknik khotbah. Ada beberapa pengkhotbah yang karena terlalu mementingkan berita di dalam Firman, lalu tidak memerhatikan teknik berkhotbah. Saya menyetujui bahwa teknik berkhotbah itu adalah hal sekunder, tetapi tidak berarti teknik berkhotbah tidak perlu sama sekali. Teknik khotbah tetap perlu sebagai implikasi signifikansi dan aspek khotbah yang telah kita pelajari di atas.

Khotbah yang baik tetap memerhatikan teknik berkhotbah. Apa arti teknik berkhotbah? Teknik berkhotbah berarti cara yang digunakan oleh si pengkhotbah di dalam menyampaikan khotbah. Cara yang dipakai si pengkhotbah ini beraneka ragam, ada yang terlalu akademis, di sisi lain ada yang tidak karuan. Supaya kita tidak terjebak ke dalam kedua ekstrim ini, kita perlu memerhatikan satu poin penting di dalam teknik khotbah yaitu dinamika khotbah (dynamics of preaching). Dinamika khotbah ini meliputi dua hal: persiapan dan kuasa Roh Kudus; antara naskah dan isi khotbah. Mari kita memikirkan dua hal ini.

A. Dinamika Khotbah: Antara Persiapan dan Kuasa Roh Kudus
Teknik khotbah berdinamika yang pertama yaitu antara persiapan dan kuasa Roh Kudus. Di dalam gereja Kristen saat ini, ada dua kecenderungan ekstrim para pengkhotbah, yaitu di satu sisi, sangat memerhatikan persiapan sebelum berkhotbah, tetapi tidak terbuka pada kuasa Roh Kudus yang spontan. Di sisi lain, ada pengkhotbah yang terlalu mementingkan kuasa Roh Kudus, tetapi mengabaikan persiapan khotbah, sehingga khotbahnya pun asal-asalan, yang penting “dari Roh Kudus.” Kedua hal ini tidak benar. 

Jika kita terlalu menekankan persiapan yang matang tetapi tidak terbuka pada pimpinan spontan dari Roh Kudus berarti kita terlalu mengandalkan kehebatan manusia di dalam menyampaikan berita Firman. Sebaliknya, jika kita terlalu menekankan pimpinan spontan dari Roh Kudus dan tidak mempersiapkan khotbah dengan baik, itu berarti kita tidak bertanggungjawab. Teknik khotbah yang bertanggungjawab adalah teknik khotbah yang seimbang. 

Pdt. Billy Kristanto, M.C.S. mengajarkan bahwa teknik khotbah yang seimbang ini maksudnya si pengkhotbah harus menyiapkan khotbah semaksimal mungkin (bahkan kalau perlu sampai titik dan komanya sekalian) sambil tetap terbuka pada pimpinan spontan dari Roh Kudus (spontaneous guidance of the Holy Spirit). 

Mengapa harus seimbang? Karena di dalam keseimbangan ini, kita dituntut untuk tetap bertanggungjawab (mempersiapkan khotbah semaksimal mungkin) sambil tetap bergantung pada kuasa Roh Kudus yang kadang-kadang memakai mulut si pengkhotbah untuk membicarakan hal-hal yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Dari sini, kita belajar bahwa dalam berkhotbah pun, kita dituntut menggabungkan antara kedaulatan dan kuasa Allah dengan tanggung jawab manusia yang tidak pernah berkontradiksi, namun berkaitan satu sama lain.

B. Dinamika Khotbah: Antara Naskah, Isi, dan Keluwesan Khotbah
Kedua, dinamika khotbah yang harus diperhatikan yaitu antara naskah, isi, dan keluwesan khotbah. Untuk poin kedua ini, pendekatannya agak subjektif. Ada 4 (empat) kemungkinan yang cukup signifikan pada poin ini:

1. Tidak terpaku pada naskah khotbah, tetapi isi khotbahnya bermutu (sesuai dengan Alkitab), dan si pengkhotbah luwes menyampaikannya

Kemungkinan pertama adalah si pengkhotbah tidak terpaku pada naskah khotbah. Tidak terpaku dalam hal ini bukan berarti tidak melihat naskah khotbah sama sekali, tetapi artinya tidak terikat dengan membaca naskah khotbah terus-menerus. Seorang pengkhotbah dituntut untuk tidak terlalu terpaku pada naskah khotbah, mengapa? Karena pengkhotbah adalah seseorang yang menyampaikan berita Firman kepada jemaat dan secara otomatis pengkhotbah harus banyak berinteraksi dengan jemaat misalnya dengan sering menatap jemaat yang dia layani. 

Kedua, Pengkhotbah juga bukan hanya tidak terpaku pada naskah khotbah saja, di bagian ini, pengkhotbah juga menyampaikan isi khotbah yang bermutu. Artinya, ada suatu struktur yang jelas di dalam khotbahnya, bukan asal-asalan. Struktur di sini bukan berarti struktur akademis yang kaku, tetapi struktur di sini adalah struktur pembahasan yang saling berkait antara satu bagian dengan bagian lain di dalam khotbahnya Meskipun ini bukan hal terpenting, tetapi hal ini tetap perlu diperhatikan. 

Ketiga, bukan hanya itu saja, si pengkhotbah juga dituntut luwes menyampaikan khotbah. Di sini, saya berbicara mengenai intonasi suara si pengkhotbah. Keluwesan dalam menyampaikan khotbah berarti si pengkhotbah harus memberikan intonasi suara yang lebih jelas ketika ia menekankan sesuatu yang perlu ditekankan di dalam khotbahnya. Intonasi suara harus jelas dimaksudkan agar jemaat berkonsentrasi pada penekanan tertentu dari si pengkhotbah dan juga agar jemaat tidak mengantuk.


Untuk model kemungkinan pertama ini, saya tidak bisa memungkiri bahwa setahu saya, hamba Tuhan/pengkhotbah yang bisa melakukan hal ini adalah Pdt. Dr. Stephen Tong. Beliau adalah seorang pengkhotbah yang sangat dinamis. Beliau hampir tidak terpaku pada naskah khotbah, meskipun tentu beliau telah mempersiapkan khotbahnya. Beliau juga adalah seorang pengkhotbah dengan isi khotbah yang bermutu, cukup terstruktur, dan mendalam. Selain itu, beliau tidak kaku dalam menyampaikan khotbah, artinya ada keluwesan di dalam menyampaikan khotbahnya. Beliau tidak monoton.

2. Terpaku pada naskah khotbah, isi khotbahnya bermutu (sesuai dengan Alkitab), dan si pengkhotbah luwes menyampaikannya

Kemungkinan kedua adalah si pengkhotbah terpaku pada naskah khotbah. Dalam arti, si pengkhotbah hampir sering melihat naskah khotbah. Saya tidak mengatakan ini tidak boleh, tetapi cara seperti ini kurang efektif. Banyak pengkhotbah yang sering melihat naskah khotbah lalu memberikan contoh bahwa Jonathan Edwards, seorang revivalis di Amerika Serikat juga membaca naskah khotbahnya. Itu tidak salah, tetapi jangan belajar dari seorang hamba Tuhan saja. Itu picik namanya. Mengapa saya mengatakan bahwa pengkhotbah yang terus melihat naskah khotbah itu kurang efektif? Karena si pengkhotbah itu tidak berinteraksi dengan jemaat. 

Coba Anda bayangkan jika si pengkhotbah membacakan naskah khotbahnya, “Saudara-saudara ...”, tetapi tidak menghadap ke jemaat, tetapi kepada naskah khotbahnya. Apa signifikansi berita mimbar seperti itu bagi jemaat? Jemaat, bagi pengkhotbah itu, berada di dalam naskah khotbahnya, bukan langsung dihadapi. Meskipun begitu, pengkhotbah ini tetap luwes menyampaikannya. Artinya, si pengkhotbah tetap bisa menguraikan sendiri apa yang dia cantumkan di dalam naskah khotbah yang dia bawa, misalnya dengan memberikan contoh, ilustrasi, dan sedikit kesaksian/humor.

3. Tidak terpaku pada naskah khotbah, isi khotbahnya tidak bermutu (tidak sesuai dengan Alkitab), tetapi si pengkhotbah luwes menyampaikannya

Jika poin pertama dan kedua masih ada sisi positifnya yaitu khotbahnya bermutu, maka pada kemungkinan ketiga ini, kita mendapati suatu keanehan. Keanehan itu adalah si pengkhotbah tidak terpaku pada naskah khotbah (dalam hal ini, saya terjemahkan: tidak menggunakan naskah khotbah), ia luwes menyampaikan khotbahnya, tetapi sayangnya tidak bermutu. 

Mengapa bisa demikian? Karena biasanya pengkhotbah seperti ini tidak mempersiapkan khotbah dengan baik. Ia asal mencomot ayat Alkitab mungkin sehari sebelum dia berkhotbah, lalu mencari ayat-ayat referensi dari Konkordansi Alkitab bahasa Indonesia untuk mendukung apa yang mau dia khotbahkan. Si pengkhotbah mungkin sekali membolak-balik dan mengutip puluhan ayat Alkitab, tetapi yang dia kutip selalu dia lepaskan dari konteksnya. Akibatnya, isi khotbah tersebut tidak lain hanya kutipan ayat Alkitab tanpa penguraian yang dalam. Itu yang saya katakan sebagai khotbah yang tidak bermutu, yaitu khotbah yang tidak menjelaskan ayat Alkitab secara mendalam beserta aplikasinya yang tepat.

4. Terpaku pada naskah khotbah, tetapi isi khotbahnya tidak bermutu (=tidak sesuai dengan Alkitab) ditambah si pengkhotbah kaku menyampaikannya.

Kemungkinan terakhir yang saya soroti ini adalah si pengkhotbah terpaku pada naskah khotbah, ditambah isi khotbahnya tidak bermutu, ditambah lagi si pengkhotbah kaku menyampaikannya. Ketika si pengkhotbah sudah memiliki teknik khotbah di tahap keempat ini, si pengkhotbah boleh dibilang gagal disebut pemberita Firman. Mengapa? Karena meski si pengkhotbah membaca naskah khotbah yang dia bawa, tetap saja, ia tidak mampu mengembangkan apa yang dia persiapkan itu, sehingga terkesan monoton, ditambah tidak ada penggalian Alkitab yang komprehensif dan aplikatif.

Meskipun teknik berkhotbah di poin IV ini bukan hal terpenting, tetapi kita tetap saja perlu memerhatikan teknik berkhotbah, bukan untuk memuaskan telinga pendengar, tetapi agar berita yang kita sampaikan dapat diserap dengan lugas, tegas, jelas, dan mudah dimengerti.

V. KHOTBAH DAN WAKTU KHOTBAH

Poin terakhir, kita akan bersama-sama merenungkan kaitan khotbah dengan waktu khotbah. Waktu yang dipergunakan di dalam khotbah di berbagai gereja beraneka ragam: ada yang 15 menit, 30, 45 menit, ada yang 1 jam, 1½ jam, dll. Penggunaan waktu khotbah ini tentu dilatarbelakangi oleh presuposisi tertentu. Misalnya, ada gereja Protestan arus utama yang memakai waktu khotbah hanya 30 menit dengan presuposisi bahwa yang terpenting di dalam kebaktian bukan hanya khotbah, tetapi juga puji-pujian, dll. 

Di sisi lain, ada gereja kontemporer yang memakai waktu khotbah sampai 1 jam, tetapi sayangnya banyak pengkhotbah tidak mempergunakan 1 jam khotbah tersebut untuk menyampaikan berita Firman yang tegas, jelas, dan aplikatif, tetapi mereka biasanya banyak bercanda di dalam khotbah agar waktunya pas 1 jam.

Waktu khotbah tentu tidak memengaruhi isi khotbah. Memang bukan menjadi suatu jaminan bahwa khotbah yang berdurasi 1 jam pasti bermutu, sedangkan khotbah yang hanya memakan waktu 30 menit pasti tidak bermutu. Tetapi meskipun demikian kita tetap perlu memerhatikan kaitan waktu khotbah dan isi khotbah.

Saya membagikan dua prinsip kaitan waktu dan isi khotbah:
· Waktu dan isi khotbah bukan bergantung pada penentuan manusia
Di poin pertama, kita perlu mempelajari bahwa waktu dan isi khotbah yang ada tidak bergantung pada penentuan manusia. Manusia berdosa meskipun sudah Kristen tidak layak mengatur jadwal atau durasi khotbah. Mengapa? Karena khotbah bukan sekadar pidato, tetapi memberitakan Firman. Inilah yang kurang disadari di beberapa gereja Protestan arus utama dan Katolik yang kurang menghargai berita/khotbah mimbar. 

Mereka menganggap khotbah hanya sekadar salah satu dari liturgi sehingga bisa dibatasi waktunya. Bahkan saya membaca sendiri tanggapan seorang rekan Kristen di sebuah milis Kristen mengatakan bahwa ada gereja yang majelisnya memperingatkan si pengkhotbah jika berkhotbah melewati durasi khotbah yang telah ditentukan. Hal ini tentu tidak pernah diajarkan baik di PL, PB, para bapa gereja, dan para reformator. Para nabi di PL bebas menyampaikan berita Firman Tuhan tanpa dikekang oleh waktu/durasi. 

Begitu juga di sinagoge-sinagoge, saya yakin tidak ada jemaat Yahudi yang memperingatkan imam untuk berhenti karena waktu khotbahnya sudah selesai. Di PB, Yohanes Pembaptis memberitakan Firman tanpa dikekang oleh waktu/durasi khotbah. Tetapi herannya, mengapa gereja sekarang membatasi waktu berkhotbah? Ini membuktikan gereja sudah tidak lagi menghargai signifikansi berita Firman di dalam khotbah, sehingga tidak heran semakin sedikit khotbah diberitakan, semakin banyak jemaat Kristen yang tidak beriman Kristen sungguh-sungguh, karena kekurangan konsumsi makanan rohani yang mereka dapatkan.

· Waktu dan isi khotbah bergantung pada kedalaman Firman dan kuasa Roh Kudus yang memakai berita Firman di atas mimbar dan kedalaman Firman
Jika bukan bergantung pada penentuan manusia, waktu dan isi khotbah tentu sebaliknya bergantung pada kedalaman Firman dan kuasa Roh Kudus yang memakai berita Firman di atas mimbar. Di sini, Allah (baik melalui firman-Nya maupun Roh Kudus) yang berotoritas di dalam khotbah, bukan manusia. Allah bebas mempergunakan durasi khotbah yang dikehendaki-Nya ketika Ia berbicara melalui para hamba-Nya di atas mimbar. 

Konsep ini mengajar kita dua hal, yaitu:
Pertama, kedalaman Firman. Di sini saya mengaitkan waktu dan isi khotbah dengan kedalaman Firman. Khotbah yang baik dan bertanggungjawab bukan hanya mengutip puluhan ayat Alkitab, tetapi yang menguraikan ayat Alkitab secara eksposisional (ayat per ayat, pasal per pasal, dll di dalam kitab di Alkitab). Misalnya, menguraikan Injil Matius secara rutin setiap hari Minggu. Jika kita benar-benar menerapkan metode eksposisi Alkitab secara rutin setiap hari Minggu, maka kita baru menyadari bahwa Alkitab kita bukan Alkitab yang dangkal, tetapi dalam. 

Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri mencontohkan bahwa beliau mengeksposisi Surat Roma sudah hampir lebih dari 5 tahun secara rutin, begitu juga dengan Surat Ibrani dan Injil Yohanes. Di sini, kita mengetahui alasan mengapa saya mengatakan waktu dan isi khotbah tidak pernah ditentukan manusia, karena Firman Tuhan ini sangat mendalam dan tidak bisa dijelaskan dengan waktu yang singkat.

Kedua, Roh Kudus memakai para pengkhotbah di luar khotbah yang telah disiapkannya. Kadang-kadang, Roh Kudus memakai para pengkhotbah untuk memberitakan Firman dengan pengertian yang berbeda di luar khotbah yang telah disiapkan si pengkhotbah. “Berbeda” di sini bukan bertolak belakang, tetapi berbeda dalam pengertian yang lebih tajam, luas, jelas, dan mudah dimengerti. Oleh karena itulah, waktu khotbah bergantung pada kedaulatan Allah di dalam khotbah yang bebas memakai hamba-Nya untuk menyampaikan berita Firman yang urgent. 

Jika memang Roh Kudus ingin menyampaikan berita Firman secara singkat, maka si pengkhotbah jangan sengaja memanjangkan khotbahnya supaya pas 1 jam. Tetapi jika Roh Kudus ingin menyampaikan berita Firman dengan jelas dan agak lama, maka jangan sengaja memendekkan durasi khotbah sampai menjadi 30 menit. Ia yang menciptakan waktu, Ia berhak memakai waktu yang diciptakan-Nya untuk memberitakan Firman-Nya. Hak apa kita berani membatasi-Nya?

Dengan kata lain, kedua poin ini menuntut suatu kepekaan khusus dari para pengkhotbah yang diurapi Tuhan. Pengkhotbah yang baik selain studi Alkitab yang ketat, juga terbuka pada dinamika pimpinan Roh Kudus ketika mereka berkhotbah.

Bagaimana dengan Anda sebagai pengkhotbah? Maukah Anda hari ini sungguh-sungguh memberitakan Firman Tuhan dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus demi kemuliaan-Nya? Tuhan menuntut hamba-hamba-Nya memberikan Firman Tuhan dengan bertanggungjawab, murni, teliti, tegas, jelas, dan aplikatif serta memuliakan nama-Nya. Sudahkah Anda melakukannya?.

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :


Next Post Previous Post