4 SOLA FIDE MENURUT INJIL LUKAS

Dany Christopher.
4 SOLA FIDE MENURUT INJIL LUKAS
Pendahuluan.

Hanya iman (Sola fide) pada hakekatnya adalah istilah teologis yang dipopulerkan Martin Luther dan merujuk kepada ajaran Rasul Paulus mengenai pembenaran oleh iman (justification by faith). Oleh karena itu, perdebatan mengenai sola fide umumnya lebih terfokus pada tulisan-tulisan Paulus.

Meski demikian, terkadang ada usaha untuk memperluas cakupan analisa sola fide ke tulisan-tulisan lain dalam Perjanjian Baru, termasuk ke dalam Injil Lukas. Dalam Injil Lukas pun, perdebatan mengenai keabsahan sola fide juga terjadi. Mereka yang mendukung maupun yang mengkritisi ajaran sola fide, sama-sama menemukan pernyataan yang mendukung posisi mereka.

Jadi, apakah Injil Lukas mengajarkan sola fide? John Piper, misalnya, berargumen bahwa teologi Paulus mengenai pembenaran oleh iman bisa ditemukan di dalam Injil Lukas, khususnya dalam perumpamaan Yesus mengenai orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9–14). Piper menyatakan bahwa si pemungut cukai dibenarkan oleh Allah bukan berdasarkan perbuatannya, tetapi karena pengakuan dosanya kepada Tuhan (Lukas 18:14).

Dalam makalah ini, penulis akan memfokuskan analisa terhadap salah satu pernyataan dalam Injil Lukas yang secara eksplisit bersentuhan dengan konsep sola fide, yakni frasa, imanmu telah menyelamatkan engkau.

Lukas menuliskan frasa ini 4 (empat) kali di dalam Injil. Frasa ini muncul dalam perikop yang mengisahkan (1) pengampunan seorang perempuan berdosa (Lukas 7:50); (2) penyembuhan perempuan yang sakit pendarahan (Lukas 8:48); (3) penyembuhan orang Samaria yang sakit kusta (Lukas 17:19); dan (4) penyembuhan seorang pengemis buta (Lukas 18:42).

Pengulangan frasa yang sama sampai empat kali memberi indikasi awal bahwa frasa tersebut penting bagi Lukas. Di dalam narasi Alkitab, teknik pengulangan (repetisi) merupakan cara penulis Alkitab untuk menghubungkan perikop-perikop yang seakan terpisah dan berdiri sendiri. Melalui analisa dari masing-masing perikop, tema dasar yang berhubungan dengan pengulangan tersebut akan bisa dipahami.

Dalam makalah ini, masing-masing perikop yang mengandung frasa “imanmu telah menyelamatkan engkau” akan dianalisa terlebih dahulu. Setelah itu, barulah kita merangkum semua penemuan kita. Kita akan mulai dengan perikop yang pertama.

1. Iman Seorang Perempuan Berdosa (Lukas 7:36–50)

Perikop ini dimulai dengan undangan jamuan makan yang diberikan oleh Simon, seorang Farisi, kepada Yesus (Lukas 7: 36). Setelah satu ayat, fokus cerita beralih kepada sosok lain: seorang perempuan yang terkenal seantero kota sebagai seorang berdosa. Lukas tidak mencatat apa dosa dari wanita tersebut. Beberapa ahli berpendapat bahwa ia adalah seorang pelacur. Begitu ia mendengar bahwa Yesus datang, ia pun bergegas menemui Yesus yang sedang dijamu.

Dalam konteks saat itu, adalah tidak patut bagi seorang perempuan berdosa untuk masuk begitu saja ke dalam jamuan makan orang Farisi yang sangat menjaga kekudusan jamuan tersebut. Meski demikian, perempuan itu memutuskan untuk tetap masuk sambil membawa buli-buli berisi minyak wangi (Lukas 7:37–38). Setelah menemukan Yesus, ia membasuh kaki Yesus dengan air matanya, dan menyeka dengan rambutnya. Tidak berhenti di situ, perempuan berdosa itu juga mencium dan meminyaki kaki Yesus (Lukas 7: 38).

Perbuatannya membuat Simon mempertanyakan kenabian Yesus. Jika Yesus adalah nabi, harusnya Ia tahu bahwa wanita tersebut adalah ‘seorang berdosa’ (Lukas 7: 39). Dengan kata lain, menurut Simon, jika Yesus sungguh-sungguh tahu identitas wanita tersebut, Ia pasti akan memberi reaksi yang berbeda. Yesus seharusnya menolak untuk disentuh seorang pendosa. Di sini kita diperhadapkan pada cara berpikir orang Yahudi pada zaman Yesus dalam kaitannya dengan orang berdosa.

Di dalam kitab orang Yahudi (Perjanjian Lama), orang-orang berdosa adalah orang-orang yang menentang Tuhan dan menjadi musuh orang-orang benar. Karena sikap tersebut, mereka akan menghadapi penghakiman dari Tuhan (lihat misalnya LXX Mazmur 3:8; 7:10; 10:6; 36:12, 32, 40; 93:3). Di perikop ini, Simon termasuk dalam kelompok orang-orang yang merasa diri benar dan menganggap rendah orang-orang berdosa. Sebelumnya, ketika Yesus dijamu makan oleh seorang pemungut cukai, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menggerutu dan mempertanyakan mengapa Ia makan dengan “pemungut cukai dan orang berdosa” (Lukas 5:30; bdk. 7:34).

Kecenderungan ini terus terlihat sepanjang pelayanan Yesus di Injil Lukas. Tidak heran, Lukas juga mencatat bahwa Yesus pernah memberi perumpamaan untuk menyinggung mereka yang merasa diri mereka benar, dan menganggap rendah orang-orang lain. Dan contoh yang dipakai dalam perumpamaan Yesus adalah seorang Farisi, yang merasa dirinya benar, dan seorang pemungut cukai, yang menyadari dirinya sebagai orang berdosa (Lukas 18:10–13).

Orang berdosa tidak hanya ditolak tetapi juga dianggap cemar di hadapan Tuhan. Dengan menyentuh Yesus, maka perempuan berdosa tersebut sebenarnya telah mencemari Yesus. Adalah tidak patut bagi seorang kudus seperti Yesus, dan para Farisi untuk memiliki kontak fisik dengan wanita berdosa. Apa yang dilihat Simon adalah cap atau stigma yang diberikan kepada perempuan tersebut, stigma yang memiliki konsekuensi sosial dan spiritual.

Sikap antipati Simon berbanding terbalik dengan sikap Yesus. Yesus sendiri menyatakan bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk memanggil orang berdosa, “supaya mereka bertobat” (Lukas 5:32). Perumpamaan yang Yesus berikan kepada Simon pun mengusung tema yang mirip. Yesus menjelaskan bahwa jika dua orang berhutang, yang satu jauh lebih banyak dibandingkan yang lain, dan dua-duanya dihapus hutangnya, maka orang yang berhutang lebih banyak akan mengasihi si penghapus utang lebih banyak pula (Lukas 7:41–43).

Di sini Yesus mengibaratkan pengampunan dosa dengan penghapusan utang. Ini berarti, apa yang perempuan berdosa itu lakukan merupakan respon kasihnya kepada Yesus karena pengampunan yang ia peroleh atas dosanya yang besar. Yesus membandingkan tindakan kasih perempuan tersebut, yang dicap ‘orang berdosa’, dengan Simon yang dicap ‘orang benar’ namun secara ironis justru tidak menunjukkan tindakan kasih (Lukas 7: 40–47).

Dalam versi Terjemahan Baru, dicatat: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Disini Yesus seakan mengajarkan bahwa perbuatan kasih menjadi prasyarat dosa perempuan tersebut diampuni. Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pernyataan ini. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan contoh yang baru saja Yesus kemukakan: kasih yang besar muncul sebagai akibat dari pengampunan dosa yang diterima (Lukas 7: 42–43).

Dengan demikian maka penggunaan ὅτι disini bisa memiliki makna pembuktian. Dosa sang wanita yang banyak telah diampuni sebagaimana dibuktikan dengan perbuatan kasihnya yang besar. Mereka berpendapat bahwa perempuan berdosa tersebut telah mengalami pertobatan sebelum insiden di jamuan makan Simon. Hanya saja, pertobatan tersebut tidak dikisahkan oleh Lukas (Bock, Luke, 1:704; Bovon, Luke, 1:297; Green, Luke, 313; Marshall, Luke, 313).

Beberapa penafsir yang lain menyatakan bahwa perempuan tersebut masih datang sebagai sebagai seorang berdosa. Lukas mencatat ada tiga kali ia dilihat sebagai seorang berdosa, masing-masing oleh karakter yang berbeda: sang narator (ay. 37), Simon si Farisi (ay. 39), dan Yesus sendiri (ay. 48). Ini berarti perempuan tersebut baru mengalami pengampunan dosa sangat ia berjumpa dengan Yesus di jamuan makan. Ia datang bukan karena sudah diampuni, tetapi karena mengetahui bahwa Yesus mau menerima dan mengampuni seorang berdosa

Setelah itu barulah Yesus pun kepada perempuan itu: “Dosamu telah diampuni” (Lukas 7: 48). Pernyataan Yesus berdampak besar tidak hanya bagi hubungannya dengan Tuhan tetapi juga bagi hubungannya dengan umat Tuhan. Pengampunan yang ia terima menunjukkan bahwa ia sekarang adalah seorang petobat, salah satu bagian dari umat Allah, atau dalam bahasa orang Farisi, ia sekarang adalah “orang benar” di hadapan Allah. Jika Tuhan sudah menerima, maka umatNya pun harus menerima.

Penerimaan ini kemudian ditegaskan kembali oleh Yesus saat Ia bersabda, “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dalam damai (ay. 50). Isi dan posisi dari pernyataan ini sangat penting. Yesus baru mendeklarasikan keselamatan perempuan tersebut setelah ia menunjukkan tindakan kasih kepada Yesus. Urutan seperti ini bisa ditafsirkan sebagai keselamatan berdasarkan perbuatan, di mana tindakan kasih terlihat seperti prasyarat yang mengantar kepada keselamatan. Akan tetapi hal ini bukanlah jawaban yang diberikan oleh Yesus.

Di sini Yesus dengan jelas menyatakan bahwa iman perempuan itulah yang menyelamatkan. Iman tersebut diekspresikan bukan dengan perkataan atau permohonan pengampunan, tetapi iman yang terlihat dari keberaniannya untuk datang kepada Yesus dan menyatakan kasihnya. Tidak ada pemisahan antara iman dengan kasih. Perempuan itu, demi bertemu dengan Yesus, berani melanggar norma-norma sosial waktu itu, dan mengekspresikan kasihnya kepada Yesus.

Perbuatannya menjadi bukti bahwa iman yang ia miliki itu adalah iman yang sejati. Pernyataan untuk pergi dalam damai menjadi jaminan bahwa ia sudah diterima Allah dan menjadi bagian dari umat Allah. Hal ini kontras dengan Simon dan orang-orang di jamuan makan yang mempertanyakan otoritas Yesus. Simon memposisikan diri sebagai orang benar. Tapi di mata Yesus, Simon gagal memahami hal yang penting bahwa keselamatan dan pembenaran hanya diperoleh di dalam Yesus melalui iman semata.

Singkat kata, Yesus memutarbalikkan pemahaman yang melekat pada masyarakat saat itu. Benar atau tidaknya seseorang dilihat dari sikap dan responnya kepada Yesus. Yang membedakan Simon orang Farisi dan Perempuan berdosa adalah pada keberadaan iman. Perempuan berdosa tersebut memiliki iman dan dengan demikian ia mendapat keselamatan. Sebaliknya Simon orang Farisi tidak memiliki iman, dan tidak mendapat keselamatan.

2. Iman Seorang Perempuan yang Sakit Pendarahan (Lukas 8:43–48)

Kisah Yesus menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan merupakan bagian dari kisah Yesus membangkitkan anak Yairus (Lukas 8:40–56). Keberadaan dua kisah tersebut dalam satu alur sarat dengan simbol dan kemiripan. Keduanya adalah perempuan. Yang satu berumur dua belas tahun, sedang yang lain sakit selama dua belas tahun. Yang satu menjamah Yesus, sedang yang lain dijamah oleh-Nya. Ini menunjukkan bahwa kedua kisah tersebut saling berhubungan.

Ketika Yesus sedang dalam perjalanan untuk menyembuhkan anak perempuan Yairus, Ia didekati oleh seorang perempuan yang sakit pendarahan. Meskipun tidak dianggap berdosa, penderita sakit pendarahan dalam dunia Yesus juga mengalami pengucilan dan penolakan yang tidak kalah buruknya dibanding dengan seorang berdosa.

Peraturan mengenai orang yang sakit pendarahan tercatat dalam kitab Imamat 15:25–27:

Apabila seorang perempuan berhari-hari lamanya mengeluarkan lelehan, yakni lelehan darah yang bukan pada waktu cemar kainnya, atau apabila ia mengeluarkan lelehan lebih lama dari waktu cemar kainnya, maka selama lelehannya yang najis itu perempuan itu adalah seperti pada hari-hari cemar kainnya, yakni ia najis.

Setiap tempat tidur yang ditidurinya, selama ia mengeluarkan lelehan, haruslah baginya seperti tempat tidur pada waktu cemar kainnya dan setiap barang yang didudukinya menjadi najis sama seperti kenajisan cemar kainnya. Setiap orang yang kena kepada barang-barang itu menjadi najis, dan ia harus mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air, dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam.

Catatan Imamat menunjukkan bahwa penderita sakit pendaharan adalah najis selama pendarahan itu belum berhenti. Selama ia pendarahan, bukan hanya si penderita saja yang najis, tetapi segala sesuatu yang tersentuh olehnya juga menjadi cemar, entah benda ataupun manusia. Dan orang-orang yang tersentuh harus melakukan ritual penyucian supaya menjadi tahir kembali. Penderita hanya bisa tahir ketika pendarahan sudah berhenti dan dilakukan ritual pentahiran (Imamat 15:28–31).

Penderita tidak hanya terasing dari umat Allah, tapi ia juga tidak boleh beribadah di Bait Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam Imamat 15:31: “Begitulah kamu harus menghindarkan orang Israel dari kenajisannya, supaya mereka jangan mati di dalam kenajisannya, bila mereka menajiskan Kemah Suci-Ku, yang ada di tengah-tengah mereka itu.” Singkatnya, perempuan yang sakit pendarahan tidak hanya mengalami penderitaan secara jasmani, tapi juga sosial.

Dari latar belakang di atas kita bisa membayangkan seberapa dalam penderitaan yang dialami oleh perempuan tersebut. Ia sudah menderita pendarahan selama dua belas tahun. Dan selama dua belas tahun ia berusaha untuk sembuh, tetapi tidak berhasil. Ini berarti selama dua belas tahun ia najis, terasing, dan selama dua belas tahun ia tidak boleh bersentuhan dengan orang lain dan tidak boleh memasuki Bait Allah.

Ada beberapa hal yang menarik dari kisah ini. Pertama, perempuan itu memutuskan untuk melakukan tindakan nekat. Ia berusaha untuk menyentuh Yesus. Ada banyak orang yang menyertai Yesus dalam perjalanan sampai berdesak-desakan (Lukas 8:45). Dengan berusaha menyentuh Yesus berarti ia akan mencemari semua orang yang bersentuhan dengan dia. Itu pastilah bukan tindakan yang akan diterima. Dengan kata lain, ada resiko besar yang harus ia hadapi untuk bisa menyentuh Yesus. Tetapi ia memutuskan untuk mengambil resiko tersebut.

Kemungkinan besar, perempuan tersebut sudah mendengar kabar mengenai mujizat kesembuhan yang dialami banyak orang. Dalam Lukas 6:19 dicatat bahwa ada banyak orang yang mengalami kesembuhan ketika mereka menjamah Yesus. Bisa jadi ia memutuskan untuk menjamah diam-diam karena sebagai orang yang najis, kecil kemungkinan baginya untuk mendekati Yesus ditengah banyak orang. Dan ternyata, usaha yang ia lakukan berhasil. Saat ia menyentuh Yesus, “seketika itu juga berhentilah pendarahannya” (Lukas 8: 44).

Kisah penyembuhan perempuan tersebut tidak berhenti di sini. Yesus, merasakan adanya kuasa yang keluar dari diriNya, mencari tahu siapa yang menyentuh Dia. Awalnya perempuan tersebut berusaha menyembunyikan diri. Tetapi setelah menyadari bahwa ia tidak bisa menyembunyikan perbuatannya, perempuan itu pun mendatangi Yesus dengan gentar, tersungkur, dan “menceritakan kepada orang banyak apa yang sesungguhnya terjadi” (Lukas 8: 47).

Setelah pengakuan tersebut, barulah Yesus menyatakan kepada perempuan tersebut, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dalam damai!” (ay. 48). Jawaban Yesus mungkin menjadi puncak dari kejadian yang mengejutkan dan tidak biasa ini. Bukannya marah, Yesus justru memuji tindakan perempuan tersebut dan mendeklarasikan di depan banyak orang bahwa ia telah memperoleh keselamatan oleh karena imannya.

Yesus memulai pernyataannya kepada perempuan tersebut dengan sebutan “Hai anak-Ku”. Terjemahan yang lebih tepat adalah “anak perempuan” . Panggilan tersebut mengingatkan kita kepada anak perempuan Yairus. Yairus menunjukkan kasihnya yang besar kepada anaknya, sehingga ketika anak perempuan satu-satunya sakit keras, ia mencari Yesus, tesungkur dan memohon kesembuhan kepadaNya (ay. 42).

Sebutan anak perempuan untuk perempuan yang sakit pendarahan menunjukkan betapa berharganya dia di mata Yesus, sebagaimana anak perempuan Yairus berharga di mata Yairus. Sebutan tersebut penting karena kini perempuan itu bukan lagi orang asing atau orang luar, tetapi bagian dari keluarga, dalam hal ini keluarga umat Allah. Dengan kata lain, ia kini sudah diterima. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa imannya telah menyelamatkan dia.

Dalam beberapa versi Alkitab, kata σώζω di sini secara khusus merujuk kepada pemulihan fisik. Dengan demikian, penerjemahan yangdiberikan adalah: imanmu telah menyembuhkan engkau (your faith has healed you [NIV]/your faith has made you well [ESV, NRSV]). Tetapi penerjemahan tersebut kurang tepat. Memang benar dalam konteks ini keselamatan mencakup pemulihan fisik. Tetapi pernyataan Tuhan Yesus juga menunjukkan bahwa pemulihan yang dialami oleh perempuan tersebut lebih dari sekedar pemulihan fisik.

Perempuan tersebut menggunakan kata ἰάομαι untuk menyatakan kesembuhannya, bukan σώζω (ay. 47). Dengan berhentinya pendarahan, berarti perempuan tersebut menjadi tahir. Ia tidak lagi terasingkan dari umat Allah. Ia sekarang adalah bagian dari keluarga umat Allah. Ia juga tidak lagi terasingkan dari Allah sendiri. Ini berarti keselamatan yang diterima bersifat holistik atau menyeluruh. Keseluruhan hidup perempuan tersebut dipulihkan baik secara jasmani, sosial, maupun secara rohani.

Iman di sini berarti keberanian untuk datang kepada Yesus. Keberanian dibutuhkan karena ia harus menantang norma sosial waktu itu, dimana ia beresiko menajiskan banyak orang ketika bersentuhan dengan mereka. Iman di sini juga berarti kepercayaan kepada Yesus. Dalam kasus perempuan ini, kepercayaan bahwa Yesus sanggup menyembuhkan – bahkan hanya dengan menyentuh jumbai jubah-Nya. Perhatikan bahwa ada banyak orang berdesak-desakan dekat Yesus.

Tidak sulit untuk membayangkan bahwa terjadi banyak sentuhan antara Yesus dan orang-orang kebanyakan. Tetapi hanya sekali terjadi penyaluran kuasa Yesus. Apakah kuasa itu tersalurkan secara otomatis kepada siapapun yang berdosa dan cemar? Ataukah kuasa itu tersalurkan karena adanya iman? Jawaban Yesus mengindikasikan bahwa imanlah yang menyebabkan kuasa Tuhan tersalurkan.

Jika kita memperhatikan alur cerita yang ada, pernyataan iman yang menyelamatkan dinyatakan oleh Yesus setelah perempuan tersebut tersungkur dengan gemetar dan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Di sini kita diperhadapkan kepada dua pilihan: apakah iman yang menyelamatkan itu merujuk kepada keberaniannya menyentuh Yesus, atau pada pengakuannya? Mungkin jawaban yang paliing tepat adalah iman yang menyelamatkan mencakup tindakan dan sikap baik sebelum maupun sesudah kesembuhan terjadi.

Gambaran iman yang demikian selaras dengan perikop sebelumnya ketika kita membahas iman sang perempuan berdosa. Lukas menyandingkan antara kepercayaan dan tindakan nyata ketika ia berbicara mengenai iman. Butuh keberanian untuk menjamah Yesus dan keberanian untuk mengakui identitas diri dan perbuatannya di hadapan Yesus dan banyak orang. Apa yang ia lakukan (berbicara di hadapan banyak orang) bisa dikategorikan sebagai sebuah pengakuan sekaligus kesaksian. Ia mengakui siapa dirinya sesungguhnya – seorang yang cemar. Tapi ia juga memberi kesaksian apa yang sudah Yesus lakukan. Bagi Yesus, apa yang perempuan itu lakukan adalah bagian dari ekspresi iman.

Keutamaan iman juga diperkuat beberapa ayat selanjutnya. Ketika Yesus masih berbicara, ada yang memberitahukan bahwa anak Yairus sudah meninggal. Mimpi terburuk Yairus akhirnya benar-benar terjadi. Mungkinkah ini salah si perempuan yang pendarahan? Mungkin saja jika tidak ada insiden tersebut, mereka bisa sampai sebelum sang anak meninggal.

Tetapi Yesus memberi pernyataan yang tidak berbeda jauh dengan yang ia sampaikan kepada perempuan yang menderita pendarahan, “Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat” (ay. 50). Yairus didorong untuk beriman – beriman bahwa Yesus akan memulihkan dan sanggup membangkitkan orang mati. Pengharapan akan selalu ada bagi mereka yang percaya. Dan Yesus membuktikan hal itu dengan membangkitkan anak perempuan Yairus.

3. Iman Seorang Samaria yang Sakit Kusta (Lukas 17:11–19)

Dalam perikop ini dikisahkan bagaimana Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Ketika Yesus sedang dalam perjalanan, sepuluh orang kusta datang menemuinya. Akan tetapi, mereka berhenti agak jauh sambil memohon belas kasihan Yesus, memanggil Yesus sebagai guru. Frasa “kasihanilah kami/saya” umumnya dipakai sebagai permohonan kepada Allah Israel untuk mengampuni atau menyelamatkan umat-Nya yang sedang menghadapi pergumulan (Mazmur LXX 6:3; 9:14; 30:10; 50:3; 55:2; 56:2; 85:3; 123:3; Yesaya 33:2; Matius 15:22; 17:15; Lukas 17:13; 18:38–39).

Sebagaimana perempuan penderita pendarahan di perikop sebelumnya, penderita kusta juga tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga penolakan sosial.

Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya.

Imamat 13:45–46

Kutipan di atas menjelaskan mengapa kesepuluh penderita kusta dalam kisah Yesus berteriak dari jauh. Mereka tidak boleh mendekati orang-orang yang tahir. Mereka bahkan harus mengumumkan keberadaan mereka dan menyerukan kecemaran mereka.

Mendengar permintaan tersebut, Yesus pun menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri kepada imam, karena imamlah yang akan memeriksa dan memutuskan apakah mereka sudah tahir atau belum (lihat Imamat 14). Mereka taat dan pergi menemui imam. Selagi dalam perjalanan ternyata mereka mengalami kesembuhan dan menjadi tahir (Lukas 17:14). Lalu satu dari kesepuluh orang yang sudah tahir itu kembali, “sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring,” tersungkur di hadapan Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Yesus kemudian bertanya mengapa hanya ada satu yang kembali dan bersyukur. Ditambah lagi, ternyata yang kembali adalah seorang Samaria, seorang “asing” (ay. 17).

Hubungan antara orang Samaria dan orang Yahudi tidaklah baik. Meskipun sama-sama menyembah Allah Israel, orang Samaria memiliki “Bait Allah” sendiri di Gunung Gerizim, dan keyakinan serta ritual keagamaan yang berbeda. Orang Yahudi menganggap orang Samaria tidak sepenuhnya setia kepada Allah Israel. Puncak ketegangan kedua pihak terjadi sekitar tahun 100 SM, ketika orang Yahudi menyerang dan menghancurkan Bait Allah orang Samaria dan ibukota Samaria, Sikhem. Ini mungkin menjadi penyebab buruknya hubungan antara kedua pihak di masa Yesus.

Yesus sendiri mengalami hal tersebut (Lukas 9:53). Penolakan tersebut menyebabkan dua murid-Nya mengancam untuk menurunkan api untuk menghancurkan mereka (Lukas 9:54). Ketika Yesus hendak mengajarkan arti “sesama manusia” kepada seorang ahli Taurat, Ia memberi contoh mengenai orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25–37). Contoh tersebut kontroversial karena orang Yahudi tidak pernah berpikir akan diperlakukan baik oleh orang Samaria.

Sebutan Yesus kepada orang Samaria tersebut sebagai orang asing sarat makna. Dalam Septuaginta bisa merujuk kepada orang-orang yang berbeda ras (orang asing=bukan Yahudi) atau berbeda golongan (misalnya, bukan golongan imam atau kaum Lewi – Keluaran 29:33; 30:33; Bilangan 1:51; 3:10, 38; 17:5; 18:4, 7). Mereka yang masuk kategori orang asing dilarang berpartisipasi dalam perayaan Paskah (Keluaran 12:43) dan masuk ke dalam Bait Allah (Yehezkiel 44:7, 9).28 Dalam 1 Esdras, salah satu usaha pemulihan dan penyucian umat Israel adalah dengan mengadakan pemisahan antara umat Allah dan golongan orang asing. Menikah dengan orang asing adalah dosa di mata Tuhan (1 Esdras 8:89–90; 9:1–36).

Meskipun Yesus menyebut orang Samaria tersebut sebagai orang asing, Ia tidak menjauhi dia. Sebaliknya, Yesus menerima sembah sujud orang Samaria itu dan menyatakan, “imanmu telah menyelamatkan engkau.” Sekali lagi kita perlu memahami cakupan dari keselamatan yang dinyatakan Yesus. Apakah keselamatan yang dimaksud hanya masalah pemulihan fisik saja? Dari perikop sebelumnya sudah jelas bahwa pemahaman semacam ini kurang tepat. Memang benar si penderita kusta disembuhkan, tetapi istilah yang dipakai adalah menjadi tahir (– ay. 14) atau menjadi sembuh (ay. 15). Ia memperoleh jauh lebih banyak daripada yang ia minta. Ia hanya meminta kesembuhan, tetapi ia mendapat keselamatan. Ia, seorang asing, diterima oleh Allah melalui Yesus, seorang Yahudi.

Apakah keselamatan tersebut berlaku terhadap kesepuluh penderita kusta, atau hanya kepada orang Samaria tersebut? Jika melihat urutannya, maka sepertinya hanya orang Samaria saja yang memperoleh keselamatan. Kesembilan orang lainnya memang sembuh dan bahkan tahir secara agama. Mereka akan diterima kembali ke dalam komunitas dan boleh beribadah. Jika hanya orang Samaria saja yang memperoleh keselamatan, apa yang menjadi pembedanya? Bedanya adalah pada imannya yang tertuju kepada Yesus. Sebelumnya ia dan kawan-kawannya hanya mengenal Yesus sebagai tuan (ἐπιστάτα) yang mempunyai kuasa penyembuhan.

Tetapi hanya orang Samaria itu yang kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring. Hanya dia yang tersungkur dan bersyukur kepada Yesus. Dengan kata lain, hanya dia yang menyadari bahwa Yesus lebih dari sekedar seorang tuan. Dan Yesus menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu adalah hal yang diharapkan oleh Yesus. Itu sebabnya Ia bernyata mengapa yang lain tidak “kembali untuk memuliakan Allah”? Di sini menjadi nyata bahwa penyembahan dan pemuliaan kepada Allah terhubung erat dengan Yesus. Bahkan bisa dikatakan bahwa lokasi penyembahan kepada Allah bukan lagi Bait Allah, ataupun Gunung Gerizim tetapi pada diri Yesus.

Tindakan orang Samaria ini mengingatkan kita kepada kisah perempuan berdosa dan penjelasan Yesus mengenai tindakan perempuan berdosa itu. Ia berbuat banyak kasih karena kesadaran bahwa dosanya yang banyak telah diampuni. Orang Samaria ini pun demikian. Tindakannya menjadi bukti dan sekaligus respon terhadap belas kasihan Yesus. Di sini sembah syukur orang Samaria tersebut merupakan manisfestasi dari iman. Keseluruhan tindakan orang Samaria tersebut, baik sebelum maupun sesudah penyembuhan, dimengerti sebagai ekspresi iman yang menyelamatkan.

Fokus dari perikop ini bukanlah semata pada pentahiran orang kusta semata. Sebelumnya Lukas sudah mencatat kisah penyembuhan terhadap orang kusta (Lukas 5:12–16). Fokus dari perikop ini adalah pada orang Samaria, “orang asing” itu . Keselamatan tidak hanya terbatas untuk orang Yahudi saja, tapi juga non-Yahudi. Bentuk respon yang diharapkan adalah sama, baik bagi orang Yahudi maupaun orang Samaria, yakni di dalam iman.

Jangkauan keselamatan menjadi tema yang penting dalam Injil Lukas dan mencapai puncak realisasinya dalam kitab Kisah Para Rasul. Di sana, Yesus berkata bahwa para rasul akan menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi (Kisah Para Rasul 1:8). Inklusivitas keselamatan juga dicatat dalam Kisah Rasul 15:9, ketika Petrus menyatakan bahwa Allah,…sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka [non Yahudi], sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman…kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga.

Bahkan sebenarnya janji keselamatan ini sudah dinyatakan dalam kitab Yesaya. Dalam kitab itu, Allah berjanji bahwa orang asing yang setia beribadah kepada-Nya akan diterima oleh Allah (Yesaya 56:6–7). Ini untuk menangkal anggapan bahwa Allah akan memisahkan orang asing dari antara orang Yahudi sebagai umat Allah (Yesaya 56:3). Tindakan Yesus menggenapi nubuatan kitab Yesaya. Melalui iman di dalam Yesus, orang Samaria itu diselamatkan.

4. Iman Seorang Pengemis Buta (Lukas 18:35–43)

Peristiwa terakhir dimana Yesus menggunakan frasa iman yang menyelamatkan adalah pada saat Ia berjumpa dengan seorang pengemis buta saat dalam perjalanan menuju Yerikho. Pengemis buta itu mendengar bahwa Yesus sedang melewati tempat itu. Begitu ia mengetahui bahwa Yesus lewat, ia pun berteriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Lukas 18: 38). Pada awalnya usaha yang ia lakukan ditanggapi negatif oleh khalayak ramai. Mereka menegor dia supaya diam, mungkin karena dianggap mengganggu. Tetapi hal itu tidak mengecilkan nyalinya. Sebaliknya ia berteriak lebih keras lagi memanggil Yesus.

Teriakannya kepada Yesus hampir sama dengan kesepuluh orang kusta. Mereka sama-sama memanggil nama Yesus dan memohon belas kasihan. Satu hal yang membedakan adalah pengetahuan mengenai jati diri Yesus. Bagi kesepuluh orang kusta, Yesus adalah tuan, tidak lebih. Tapi bagi pengemis buta tersebut, Yesus adalah Anak Daud.

Kesadaran akan jati diri Yesus juga berbeda dengan orang yang memberitahu dia, dimana Yesus hanya dikenal sebagai Yesus dari Nazaret (Lukas 18: 37). Dengan memanggil Yesus sebagai Anak Daud, pengemis buta itu mengakui bahwa Yesus adalah sang raja dan mesias yang dinantikan (Yesaya 9:5–6; Yeremia 23:5; 33:15; Yehezkiel 34:23; Matius 21:9; Lukas 1:32, 69; dan 20:41–42 dimana Mazmur 110:1 dikutip sebagai Mazmur mesianik).

Usaha pengemis buta itu membuahkan hasil. Yesus mendengar teriakannya dan bertanya apa yang ia inginkan. Sang pengemis buta kemudian memanggil Yesus, “Tuhan/κύριε” menegaskan sekali lagi bahwa ia memahami identitas Yesus dengan benar. Harapannya sederhana, ia ingin melihat. Atas permohonan itu Yesus pun menjawabnya, “Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (ay. 42). Sama seperti perempuan yang sakit pendarahan dan orang Samaria yang menderita kusta, keselamatan di sini mencakup pemulihan secara jasmani.

Namun, agak berbeda dengan dua orang sebelumnya, orang buta tidak dikategorikan sebagai orang yang najis atau cemar. Larangan mengenai kebutaan hanya berlaku bagi imam (Imamat 21:17–18) dan binatang yang menjadi korban persembahan kepada Tuhan (Imamat 22:22; Ulangan 15:21). Imam dan binatang korban harus tanpa cacat cela secara fisik. Meski demikian, orang buta tetap dianggap memiliki kecacatan dan kekurangan.

Dalam pengajarannya Yesus mengelompokkan orang buta dengan orang miskin, cacat, dan lumpuh (Lukas 14:13; 21). Di sana Yesus mengajarkan siapa yang seharusnya diundang (orang buta dan yang sekelompok dengannya), karena mereka tidak akan sanggup membalas.

Selain buta, orang yang disembuhkan itu juga adalah seorang pengemis. Mengemis untuk bertahan hidup menunjukkan bahwa orang tersebut miskin dan terpinggirkan. Bahkan, mengemis adalah tindakan yang memalukan di mata masyarakat.

Ada dua hal lagi yang sepertinya unik dalam kisah penyembuhan ini.

Pertama, di sini satu-satunya kisah dimana Yesus mendeklarasikan iman yang menyelamatkan sebelum ada respon atau bukti iman yang sejati – bandingkan dengan ketiga kisah di atas di mana pernyataan iman yang menyelamatkan terjadi setelah ada respon dari mereka yang menerima keselamatan. Bisa jadi ini dikarenakan oleh status si pengemis buta yang tidak dianggap sebagai orang najis atau orang asing. Dengan kata lain, ia bukan salah satu dari orang-orang yang ditolak Allah. Tepat pada perikop selanjutnya adalah kisah pertemuan Yesus dengan Zakheus si pemungut cukai.
Ketika Yesus memutuskan untuk bertamu ke rumah Zakheus, orang banyak menjadi kecewa karena Yesus “menumpang di rumah orang berdosa.” Terlihat jelas bahwa pemungut cukai dianggap sebagai pekerjaan yang kotor karena seringkali tidak jujur dan tamak (Lukas 3:12–13). Para pemungut cukai pun selalu dikelompokkan dengan orang-orang berdosa (Lukas 5:30; 7:34; 15:1). Tidak heran setelah Zakheus membuktikan pertobatannya, dengan memberi dan mengembalikan sebagian besar hartanya, barulah Yesus menyatakan bahwa Zakheus telah menerima keselamatan.

BACA JUGA: HANYA IMAN 4 (SOLA FIDE)

Pernyataan Yesus sekaligus menjadi pengajaran bagi orang banyak, bahwa Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan orang-orang berdosa (lihat Lukas 5:32, di mana konteksnya adalah jamuan makan dengan seorang pemungut cukai). Padahal orang banyak tersebut baru saja memuji Allah karena menyembuhkan orang buta. Apa yang tidak mungkin di mata mereka (adanya pertobatan bagi orang-orang berdosa dan pemulihan bagi orang-orang yang dianggap najis) adalah mungkin di mata Tuhan.

Tidak adanya bukti sebelum keluarnya deklarasi keselamatan dari Yesus menunjukkan bahwa hanya dengan iman, keyakinan yang sungguh kepada Yesus yang didasari oleh pemahaman yang benar akan jati diri Yesus, pengemis buta tersebut bisa menerima keselamatan. Ini merupakan contoh yang lebih eksplisit dari pengajaran sola fide. Meski demikian tetap saja harus ada tindak lanjut dari iman tersebut. Dalam kasus si orang buta ini, bukti imannya adalah dengan mengikuti Yesus sambil memuliakan Allah (ay. 43).

Kedua, penyembuhan orang buta sepertinya mempunyai makna teologis yang khusus. Dalam Injil Lukas, meski penyembuhan orang buta dikatakan terjadi beberapa kali, kisah mengenai penyembuhan orang buta hanya dicatat di sini. Catatan lainnya hanya bersifat rangkuman dari pelayanan Yesus (Lukas 7:21). Besar kemungkinan penyembuhan orang buta menjadi tanda atau simbol dari pelayanan Yesus sebagai mesias yang dinantikan. Lukas mencatat manifesto misi Yesus dalam bentuk kutipan dari kitab Yesaya:“Roh Tuhan ada pada-Ku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”… Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

Lukas 4:18–21

Yesus mengulangi lagi manifesto minisnya saat ditanya oleh utusan Yohanes Pembaptis apakah Ia adalah sang Mesias yang ditunggu-tunggu. Yesus menyuruh mereka memberitahukan Yohanes bahwa orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, penderita kusta menjadi tahir, dan orang-orang miskin memperoleh berita Injil (Lukas 7:21–22). Bisa disimpulkan bahwa kisah penyembuhan si pengemis buta menjadi penting sebagai realisasi dari misi Yesus. Pengemis buta tersebut tidak hanya bisa melihat, tetapi ia melihat Yesus, sang juru selamat dan mesias yang dinantikan.

Para gembala melihat bayi Yesus, yang dinyatakan oleh malaikat sebagai juru selamat (Lukas 2:15–17), Sesuai janji Allah, Simeon yang tua diberi kesempatan untuk melihat Yesus, di mana ia menyatakan bahwa Yesus adalah “keselamatan yang dari pada-Mu” (Lukas 2:26, 30). Lukas sendiri mengutip dari Yesaya bahwa di dalam Yesus, “semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan” (Lukas 3:6). Si pengemis buta tidak hanya dicelikkan. Ia juga melihat sang Juruselamat dan mendapatkan keselamatan karena keberaniannya untuk percaya dan berjumpa Yesus.

Sintesis dan Kesimpulan

Kita sudah melihat empat perikop yang mengandung frasa “imanmu telah menyelamatkan engkau.” Dari data-data di atas, kita bisa menjawab pertanyaan utama yang dikemukakan di awal makalah ini: Apakah Injil Lukas mengajarkan sola fide/hanya iman – bahwa keselamatan hanya berdasarkan iman semata? Jawaban sederhananya adalah “ya”. Meski demikian, Lukas memiliki penekanan yang berbeda dalam hal iman yang menyelamatkan, penekanan yang terkadang tertutupi oleh penggambaran lain yang lebih dikenal (mis: pembenaran oleh iman, penebusan, dan pengampunan dosa).

Ada 5 (lima) hal yang menjadi penekanan Injil Lukas sehubungan dengan iman yang menyelamatkan.

Pertama, iman yang menyelamatkan adalah iman yang tertuju kepada Yesus. 

Akses menuju keselamatan hanya diperoleh di dalam Yesus. Semua penerima keselamatan mengarahkan hati hanya kepada kepada Yesus, entah demi pengampunan dosa, pentahiran, maupun kesembuhan. Keyakinan yang tertuju kepada Yesus bukanlah perkara mudah. Dalam tiap perikop di atas, usaha untuk berjumpa dengan Yesus selalu diiringi dengan resiko yang besar.

Mereka adalah orang-orang yang dianggap melanggar norma-norma sosial dan bahkan keagamaan yang ada. Seorang pendosa yang mendatangi jamuan makan seorang Farisi demi menyentuh Yesus; seorang perempuan pendarahan yang ikut berdesakan, dan membuat najis orang-orang disekitarnya, demi menyentuh Yesus; seorang Samaria penderita kusta yang berteriak-teriak demi pentahiran; seorang pengemis buta yang juga terus berteriak meskipun sudah dihardik untuk diam – semua mengambil resiko demi berjumpa dengan Yesus secara pribadi.

Kedua, menurut Injil Lukas, respon iman tidak hanya menyentuh aspek kognitif saja, tetapi juga perasaan dan tindakan. 

Iman adalah respon yang sifatnya menyeluruh atau holistik. Ekspresi atau bukti iman merupakan hal yang penting dalam Injil Lukas. Dari empat perikop di atas, hanya pengemis buta tersebut yang memiliki pemahaman kognitif yang tepat mengenai jati diri Yesus dengan menyebut Yesus sebagai “Anak Daud.” Akan tetapi jawaban yang benar ini pun diiringi dengan teriakan tiada henti demi berjumpa dengan Yesus. Ini menunjukkan bawa pemahaman rasio saja tidak cukup. Baik perempuan berdosa, perempuan pendarahan, maupun orang Samaria yang menderita kusta, sama-sama menundukkan diri di depan kaki Yesus.

Perempuan berdosa mengekspresikan imannya dalam tangisan, perempuan pendarahan dengan sujud dan gemetar, sedang orang Samaria yang berpenyakit kusta dengan sujud dan syukur. Meskipun berbeda ekspresi, semuanya merupakan ekspresi iman yang nyata. Satu hal yang patut diperhatikan adalah di tiga perikop pertama, pernyataan keselamatan dari Yesus diberikan setelah ekspresi iman dinyatakan. Meski demikian Yesus tetap menyatakan bahwa yang menyelamatkan mereka adalah iman mereka, bukan hal yang lain. Dengan kata lain, apa yang mungkin kita anggap sebagai perbuatan, menurut kacamata Injil Lukas adalah bagian dari iman.

Ketiga, iman bukan respon yang setara terhadap keselamatan yang dianugerahkan oleh Allah di dalam Yesus. Iman bukanlah bayaran atas penerimaan dan pemulihan Allah. 

Sebaliknya, iman adalah respon manusia yang terbatas terhadap keselamatan dari Tuhan. Yesus menghargai dan mengharapkan iman tersebut. Iman sebesar apapun tidak akan bisa mengimbangi belas kasihan yang diberikan.

Dari empat perikop di atas, seluruh penerima keselamatan mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang mereka harapkan. Hal ini terlihat terutama dari perempuan yang mengalami pendarahan. Ia menyentuh Yesus karena ingin disembuhkan, tapi ia tidak berani melakukan hal itu terang-terangan. Bahkan setelah merasa terpojok, barulah ia tersungkur dan mengakui segalanya dengan gemetar. Ia datang dengan rasa bersalah dan takut. Meski demikian, Yesus tetap memberi anugerah keselamatan kepadanya. Iman yang ia miliki, oleh Yesus sudah dianggap cukup.

Keempat, anugerah keselamatan yang diterima bersifat holisik. 

Keselamatan tidak hanya mencakup jaminan hidup kekal maupun pembenaran. Keselamatan tidak hanya mencakup dimensi rohani. Dalam Injil Lukas, keselamatan mencakup pemulihan dalam segala aspek. Tiga dari empat perikop di atas berlatar belakang pemulihan fisik dan pentahirkan. Dan semua perikop di atas menekankan pengaruh keselamatan secara sosial.

Semua mereka, meski awalnya merupakan ‘orang luar’, oleh deklarasi Yesus menjadi bagian dari umat Allah. Mereka yang sebelumnya berdosa, najis, orang asing, pengemis, sekarang mendapat damai sejahtera, dianggap keluarga, dan menjadi ‘orang dalam’. Keselamatan yang diberikan tidak hanya berupa pengharapan akan masa yang akan datang, tetapi pemulihan yang sudah mulai dialami pada masa kini. Dalam empat perikop di atas terlihat bahwa Lukas sangat menekankan aspek pemulihan dan penerimaan dari keselamatan.

Kelima, keselamatan yang diterima bersifat inklusif. 

Keselamatan tidak hanya menjadi milik sekelompok orang tertentu. Dalam konteks Injil Lukas, keselamatan tidak hanya menjadi milik sebagian kecil orang-orang Yahudi yang menganggap hidup mereka ‘benar’ di hadapan Tuhan. Dalam empat perikop di atas, kita menemukan dua wanita dan dua pria.

Satu perempuan berdosa, satu perempuan yang najis karena pendarahan, satu pria kusta ‘asing’ karena merupakan orang Samaria, dan satu pengemis buta. Keselamatan diberikan kepada mereka yang terkucilkan dan dianggap rendah dan tidak layak. Daftar ini akan terus bertambah jika kita melihat orang-orang lain yang mengalami perjumpaan dengan Yesus: perwira Romawi (Lukas 7:2), pemungut cukai (Lukas 5:27; 19:5), orang lumpuh (Lukas 5:18), dan penjahat yang disalib (Lukas 23:49–42). Semua mereka adalah orang-orang yang dianggap tidak layak, ‘orang luar’.

Tetapi justru, ketidaklayakan inilah yang hendak diangkat oleh Injil Lukas. Keselamatan adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada mereka yang tidak layak. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Yesus bahwa Ia datang untuk mencari orang berdosa (Lukas 5:32) dan menyelamatkan mereka yang terhilang (Lukas 19:10). Puncak dari jangkauan keselamatan ini akan terlihat di buku Lukas yang kedua (Kis. 1:8). Singkatnya, inklusivitas keselamatan menunjukkan penerimaan Allah terhadap semua golongan orang.

BACA JUGA: EKSPOSISI ROMA 10:9-13 (PENGAKUAN IMAN)

Sebagai kesimpulan, Di dalam Injil Lukas kita bisa menemukan ajaran sola fide. Meski demikian, sola fide versi Lukas memberi penekanan yang agak berbeda dibanding dengan versi Paulus. Penekanan utama dalam Lukas bukanlah pembenaran karena iman. Berdasarkan analisa frasa “imanmu telah menyelamatkan engkau,” sola fide menurut Injil Lukas bisa diartikan sebagai penerimaan dan pemulihan yang menyeluruh yang diberikan Allah kepada orang-orang yang tidak layak, melalui dan hanya melalui iman yang diekspresikan secara konkrit kepada Yesus.

Hal ini bukan berarti mengecilkan pemahaman keselamatan sebagai pengampunan dosa sebagaimana dicatat dalam Injil Lukas (misalnya Lukas 24:47). Pengertian di atas juga bukan definisi yang lengkap mengenai iman yang menyelamatkan dalam pemahaman Perjanjian Baru. Yang ingin ditekankan dalam makalah ini adalah gambaran lain mengenai iman yang menyelamatkan yang terkadang kurang terangkat ke permukaan. 4 SOLA FIDE MENURUT INJIL LUKAS

https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post