IMAN DALAM SIFAT PERWAKILAN
Pdt. DR. Stephen Tong.
DARI IMAN KEPADA IMAN (FROM FAITH TO FAITH)
DARI IMAN KEPADA IMAN (FROM FAITH TO FAITH)
BAB II : IMAN DALAM SIFAT PERWAKILAN.
Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam (‘di dalam Adam’), demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus (‘di dalam Kristus’).1 Korintus 15:22)
Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam (‘di dalam Adam’), demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus (‘di dalam Kristus’).1 Korintus 15:22)
Kita telah melihat dalam bab sebelumnya, bahwa ketika manusia mau beriman, mereka justru berpegang pada presuposisi yang melawan Allah, yang seharusnya mereka imani. Manusia mau melihat dulu atau mau mengalami dulu baru percaya. Mereka juga mau membuktikan dulu dan memikirkan dulu sampai jelas, baru mau beriman. Presuposisi-presuposisi yang salah ini telah menggerogoti manusia selama berartus-ratus tahun, sehingga manusia sulit beriman dengan baik.
Dan untuk menyambut orang-orang demikian, dan agar gereja tidak kehilangan massa, maka muncullah penginjil-penginjil yang mengkompromikan kebenaran iman yang sejati dengan mencoba membuat berbagai pameran kuasa untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu berkuasa, agar orang mau percaya. Tetapi orang percaya ditetapkan oleh Allah berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab, yang berbeda dari jalan-jalan yang dibuat oleh Kekristenan yang tidak benar.
Dan untuk menyambut orang-orang demikian, dan agar gereja tidak kehilangan massa, maka muncullah penginjil-penginjil yang mengkompromikan kebenaran iman yang sejati dengan mencoba membuat berbagai pameran kuasa untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu berkuasa, agar orang mau percaya. Tetapi orang percaya ditetapkan oleh Allah berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab, yang berbeda dari jalan-jalan yang dibuat oleh Kekristenan yang tidak benar.
Pemikiran “dari iman kepada iman” merupakan prinsip yang begitu ketat dan berkesinambungan di dalam seluruh Alkitab, dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Orang-orang di dunia mempunyai presuposisi yang salah, yaitu jika metode atau bentuk yang dipakai sesuai dengan kemauan saya (manusia), maka itu akan membuat saya mudah percaya. Tetapi argumentasi ini tidak sepenuhnya benar.
Ada orang yang kepadanya sudah ditunjukkan mujizat sebanyak mungkin dan sehebat mungkin, tetap dia tidak mau percaya. Jangan kita beranggapan bahwa jika kita mnemakai mujizat, maka orang akan beriman. Tuhan Yesus banyak melakukan mukjizat, bahkan sampai membangkitkan Lazarus yang sudah empat hari meninggal. Namun, reaksi orang-orang bukannya menjadi percaya, melainkan membentuk suatu komplotan untuk membunuh Yesus. Mereka tidak beriman, maka berapa pun banyaknnya mujizat ditunjukkan, mereka tetap tidak akan beriman.
Jikalau Tuhan tidak berkenan memberikan anugerah kepada seseorang, Dia akan membiarkan orang itu menganggap dirinya pandai dan menganggap presuposisinya benar dan dia dikucilkan dari anugerah Tuhan. Jika “Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibrani 12:29), maka ketika Allah mau memberikan anugerah, di situlah iman diberikan kepada manusia. Pemahaman “dari iman kepada iman” melawan semua presuposisi dunia yang salah.
[1]. ADAM DAN KRISTUS.
Kini pengertian “dari iman kepada iman” akan kita lihat dari aspek relasi kedua perwakilan hidup manusia di dalam sejarah. Pengertian ini hampir bisa dikatakan sulit untuk Saudara dapatkan dari berbagai buku Kristen yang ada.
Pertama-tama, seluruh umat manusia diwakili oleh satu orang yang melawan kehendak Allah, yaitu Adam.
Dan kedua, seluruh umat manusia diwakili oleh satu orang manusia yang membalikkan situasi pemberontakan kepada Allah menjadi sikap berbalik dan datang kepada Allah, yaitu Yesus Kristus.
Dengan demikian, dalam pandangan Allah, seluruh umat manusia di sepanjang sejarah hanya memiliki dua wakil saja. Allah mengenal semua manusia hanya melalui kedua wakil (perwakilan) ini.
Allah mengenal Adam sebagai ciptaan-Nya yang pertama, yang di dalamnya diciptakan seluruh umat manusia di dalam sejarah, karena Adam adalah perwakilan manusia yang pertama. Kedua, Allah mengenal Kristus sebagai utusan-Nya, sebagai wakil manusia yang di dalamnya manusia mendapatkan keselamatan melalui ketaatan-Nya.
Maka kini kita akan melihat representasi Kristus. Adam mewakili seluruh umat manusia, termasuk Saudara dan saya, Kristus juga mewakili seluruh umat manusia, termasuk Saudara dan saya. Kelompok yang pertama saya sebut sebagai Arus Hidup Adam(The Stream of Life in Adam); dan kelompok yang kedua saya sebut sebagai Arus Hidup Kristus (The Stream of Life in Christ).
Jikakita memperhatikan Alkitab di dalam bahasa Yunaninya, kita akan menemukan bahwa kata “di dalam Adam” (en tö Adam) dan “di dalam Kristus” (en tö Christö; 1 Korintus 15:22), merupakan dua kubu di mana Allah mengenal manusia. Allah tidak mengenal eksistensi di luar golongan ini. Jika di luar Adam, pasti di dalam Kristus; yang di luar Kristus, pasti di dalam Adam. Barangsiapa masih di dalam Adam, dia belum mendapatkan dan menikmati anugerah keselamatan di dalam Kristus. Barangsiapa di dalam Kristus, ia sudah dikeluarkan dari kerusakan yang diakibatkan oleh pemberontakan yang dilakukan di dalam arus hidup Adam.
Di sini kitamelihat dua kubu, yaitu kubu Adam dan kubu Kristus. Kubu pertama adalah kubu yang dicipta, sedangkan kubu kedua adalah kubu dari Pencipta yang masuk ke dalam dunia ciptaan. Kubu pertama adalah kubu dari manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah, sedangkan kubu kedua adalah kubu dari Allah yang empunya peta dan teladan itu sendiri, yang masuk ke dalam dunia untuk memberikan teladan yang sempurna menjadi manusia. Kedua kubu ini merupakan representasi yang begitu unik dan begitu hebat, dan yang diakui oleh Tuhan Allah. Hanya dalam dua kubu ini saja seluruh umat manusia mendapatkan perwakilan mereka.
[2]. TAMAN EDEN : PERWAKILAN PEMBERONTAKAN.
Apa perbedaan kedua kubu ini? Antara Adam sebagai perwakilan umat manusia dan Kristus sebagai perwakilan umat manusia, terdapat perbedaan yang sangat besar. Adam adalah manusia yang dicipta, dan dia dicipta menurut peta dan teladan Allah. Karena itu, semua potensi yang paling hebat, yangmelampaui semua makhluk, melampaui semua binatang yang dicipta oleh Allah, ada di dalam diri dia yang disebut manusia. Tetapi potensi-potensi ini sendiri mengandung bahaya yang tersembunyi. Pengertian ini merupakan paradoks yang ditetapkan oleh Allah ketika Ia menciptakan segala sesuatu di bawah manusia.
Pada saat Allah menciptakan manusia, paradoks ini ada di dalam hidup yang melampaui semua makhluk yang lain. Manusia dicipta dengan memiliki rasio. Jika rasio dipergunakan dengan baik, maka rasio akan membawa manusia mengerti dan kembali kepada kebenaran. Jika rasio tidak baik-baik digunakan, akan menjadi akal budi yang rusak, yang akan menghancurkan dan merusak segala sesuatu yang teratur. Di sini kita melihat sifat rasio yang memiliki potensi yang indah, bijaksana, dan positif, tetapi juga mnemiliki potensi yang korup, merusak, dan negatif. Ininamanya paradoks di dalam dunia ciptaan, dan Allah memang mencipta manusia demikian adanya.
Demikian juga, sifat-sifat lain yang ada di dalam diri manusia, yang dicipta menurut peta dan teladan Allah, juga mengandung kecenderungan yang sama, yaitu baik atau jahat. Jika anak Saudara cantik, kecantikan itu merupakan suatu kebahagiaan besar, tetapi juga penuh kebahayaan. Jika anakmu pandai, maka kepandaian itu merupakan kebahagiaan, tetapi juga kebahayaan besar. Kesehatan dan tubuh yang kuat,. Bisa menjadikan dia seorang atlet yang baik, tetapi bisa juga menjadi penjahat yang kejam. Kebahagiaan sekaligus kebahayaan adalah suatu paradoks kehidupan.
Sifat-sifat di atas diwakili oleh Adam. Ketika Adam, menggunakan kapasitasnya dengan respons yang tidak sewajarnya terhadap Tuhan Allah, maka ia telah menyalah-gunakan sifat perwakilannya di hadapan Tuhan Allah. Itu sebabnya, ketika Adam harus taat kepada Allah – di mana Allah mengatakan jangan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat – ia justru tidak mau tunduk dan melawan Allah, ia telah berdosa.
Adam berpikir, “Mengapa saya harus menjadi orang yang ditundukkan seperti boneka? Saya tidak mau menjadi pengikut, saya mau menjadi orang yang merdeka, yang mandiri, yang tidak diatur oleh siapa pun. Saya merasa perlu memiliki otoritas dan hak absolut yang tidak dikuasai oleh siapa pun juga.”
Pada saat Adam mengambil keputusan demikian, ia telah melanggar hukum. Ia telah melawan Tuhan dan tidak taat kepada Allah. Akibat dari ketidak-taatan dan pemberontakan Adam ini, ia telah menjadikan semua orang yang berada di bawah perwakilannya menjadi “anak-anak pemberontak”. Semua orang yang berada di bawah arus hidup Adam disebut oleh Tuhan sebagai anak-anak pemberontak.
Di dalam Efesus 2:1-10 dengan jelas kita disebut sebagai anak-anak murtad, anak-anak durhaka, anak-anak yang patut dimurkai oleh Tuhan Allah, anak-anak yang memberontak kepada Tuhan, anak-anak yang berjalan di dalam kegelapan dan menuruti nafsu di dalam diri, yang membawa kita taat kepada penguasa-penguasa kerajaan angkasa. Dan ketika kita melihat realitas yang ada, kita mendapati bahwa semua keturunan Adam mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu menjadi anak-anak pemberontak dan melawan Allah.
Di dalam peristiwa dan realitas di atas, kita melihat adanya mutasi (perubahan, atau perpindahan) dosa sebagai status di dalam diri Adam kepada keturunan yang dilahirkan dari perwakilan (representasi) ini. Ketika Adam sebagai wakil umat mansuia berdosa, maka semua keturunannya akan mendapatkan mutasi sifat dosa.
Di dalam teologi, ini dikenal dengan sebutan dosa asal (the original sin). Saya tahu bahwa banyak orang intelektual abad ke-20 menolak doktrin dan realitas dosa asal ini. Mereka menganggap itu tidak benar. Mereka mengerti dosa asal sebagai hal di mana Allah akan menghakimi seseorang karena dosa orangtuanya. Saya harap kita tidak salah mengerti tentang doktrin dosa asal.
Teologi Reformed tidak mengatakan melalui tindakan atau kegiatan seksual, dosa diturunkan oleh orangtua kepada anaknya. Tidak demikian! Itu bukan ajaran Alkitab yang dimengerti oleh Teologi Reformed, khususnya oleh Calvinisme. Calvin dan kita melihatnya sebagai suatu representasi. Sekitar 1500 tahun yang lalu, bapa Gereja Augustinus mengatakan bahwa manusia mewariskan dosa melalui kegiatan atau tindakan seksualitas. Akibatnya, Gereja Roma Katolik menganggap seks sebagai hal yang najis.
Kalau orang tidak menikah ia bisa lebih suci dari orang yang menikah, karena tidak menurunkan dosa. Kalau orang tidak menikah dan tidak melakukan hubungan seks, maka ia akan lebih suci karena tidak mendapatkan pencemaran-pencemaran akibat hubungan seks. Tetapi di dalam Teologi Reformed kita mendapatkan pemahaman yang jauh lebih mendalam, yaitu bahwa dosa turun kepada keturunan kita, bukan akibat seks dan pernikahan, melainkan dalam kaitannya dengan sifat perwakilan Adam. Oleh karena itu, semua yang dicipta di dalam Adam ikut menjadi orang berdosa.
Dalam teologi Augustinus, salah satu bukti bahwa anak-anak memiliki dosa asal adalah karena anak-anak kecil harus dibaptiskan, dan itu membuktikan bahwa anak-anak kecil memerlukan penebusan dari Tuhan. Alasan kedua dari enam alasan Augustinus adalah jika anak-anak tidak memiliki dosa asal, maka tidak ada anak yang dilahirkan cacat. Mengapa ada anak yang dilahirkan buta, ada yang dilahirkan timpang, atau ada anak yang dilahirkan dengan kekurangan organ-organ penting tertentu, sehingga tidak lama setelah dilahirkan ia harus mati.
Cacat pada bayi membuktikan bahwa sejak kecil mereka sudah berdosa. Kalau bayi-bayi ini tidak berdosa lalu Allah memberi mereka dilahirkan dalam keadaan cacat, bukankah itu akan menyatakan Allah tidak adil. Semua teologi besar dalam sejarah sudah mencoba memikirkan hal-hal yang penting. Memang kita perlu memikirkan kembali, apakah itu sesuai dengan Alkitab. Tetapi pikiran-pikiran dari orang-orang yang agung seperti ini, satu kali saja muncul sulit dihapus dari sejarah.
Apakah anak-anak itu berdosa atau tidak? Jika dikatakan anak-anak tidak berdosa, apakah artinya anak-anak tidak berdosa? Jika dikatakan anak-anak itu berdosa, apakah artinya anak-anak itu berdosa? Apakah sifat dosa yang ada pada mereka merupakan sifat warisan atau sifat perbuatan diri sendiri sebelum mereka mengetahui apa-apa? Allah mengatakan, “Bisakah Aku tidak mencintai seratus dua puluh ribu anak di kota Niniwe yang belum bisa membedakan tangan kanan dari tangan kiri.” (Yunus 4:11).
Di sini kita melihat bahwa anak-anak memang belum bisa membedakan karena belum mempunyai kemampuan pembedaan. Pada saat demikian, cinta Tuhan turun ke atas diri mereka. Itu memberi pengertian bahwa Tuhan tidak akan menghakimi anak-anak yang sendirinya belum berbuat dosa. Kalau anak-anak belum memiliki kemampuan bahkan untukmembedakan tangan kanan dari tangan kiri, bagaimana bisa dihakimi oleh Tuhan? Demikian pula, kita melihat bahwa Allah yang adil mengetahui bahwa anak-anak itu tidak bersalah.
Namun, dalam ayat-ayat yang lain, Daud mengatakan bahwa “sejak dalam kandungan ibuku, aku telah berdosa” (Mazmur 51:7). Apakah artinya? Apakah kita mau mempertentangkan Alkitab? Atau kita sudah mengerti bahwa Alkitab adalah satu keutuhan yang ditunjang oleh semua bagian dan merupakan kebenaran yang utuh?
Buku dari kedua murid Karl Barth di Tübingen School dan di Basel University, Swiss, mempertentangkan ayat Alkitab yang satu dengan ayat yang lainnya. Saya sangat kuatir melihat teolog-teolog seperti ini. Saya melihat bahwa Allah memberikan Kitab Suci yang di dalamnya mengandung paradoks, tetapi bukannya kontradiksi. Itu berarti, pada saat turunnya dosa turunan, itu bukan karena keturunan itu sendiri yang berbuat dosa, tetapi karena status yang diwakili oleh orang berdosa.
Pada waktu Kaisar Hirohito menyerah dan menghentikan perlawanan Perang Dunia II yang dicetuskan oleh orang Jerman di Eropa dan orang Jepang di Asia Pasifik, maka ia dipaksa meninggalkan Tokyo, naik ke kapal induk Amerika Serikat dan dipaksa menanda-tangani penyerahan kekuasaan.
Ia menandatangani surat penyerahan kekuasaan itu dengan diawasi oleh Jenderal MacArthur dari Amerika Serikat, yang merupakan jenderal dari pasukan Sekutu di Asia. Ketika ia menandatangani surat tersebut, itu bukan atas kemauannya. Itu sangat mempermalukan dirinya sebagai kaisar besar Jepang dan mempermalukan seluruh bangsa Jepang, yang menganggap diri lebih kuat dari bangsa apa pun di Asia, bahkan berani menantang Amerika Serikat di Hawaii. Apakah setelah penanda-tanganan surat penyerahan itu ada orang Jepang yang boleh mengatakan: “Ya, itu kan Hirohito yangmemberikan tanda tangan, tapi saya tidak ikut memberikan tanda tangan.
Jadi yang menyerah cuma Hirohito seorang saja, saya tidak ikut menyerah.” Tidak bisa! Pada saat Kaisar Hirohito menandatangani surat itu, ia merepresentasikan seluruh negara Jepang. Di sini kita melihat bahwa sistem perwakilan adalah prinsip yang dimengerti secara umum oleh semua manusia di dunia ini. Hirohito memiliki kapasitas sebagai wakil atau representasi dari seluruh bangsa Jepang. Adam juga memiliki kapasitas sebagai representasi seluruh umat manusia. Maka ketika Adam berontak, seluruh umat manusia juga turut menjadi umat pemberontak bersamanya.
Pengertian di atas membawa kita kepada satu pertanyaan yang serius, yaitu bukankah itu tidak adil, karena semua orang dilahirkan dalam status berdosa dan harus binasa? Kita harus mengingat bahwa Allah tidak mengadili anak-anak karena mereka memiliki status dosa asal yang diwariskan. Dan seluruh Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Allah mengadili manusia karena perbuatan mereka sendiri, bukan perbuatan orang lain.
Di dalam Roma 2:6, firman Tuhan mengatakan: “Ia akan membalas (menghakimi) setiap orang menurut perbuatannya.”Dalam versi yang lain dikatakan:“Ia akan menghakimi setiap orang menurut perbuatan baik atau jahat yang ia lakukan.” Dengan demikian, Allah akan menghakimi seseorang bukan berdasarkan status dosa asalnya, melainkan berdasarkan perbuatannnya.
Kalau demikian, apa pengertian status dosa asal yang diwariskan kepada kita oleh nenek moyang kita? Kita melihat bahwa mereka yang menerima Kristus di dalam pertobatan mendapatkan penebusan Kristus yang meliputi semua aspek dosa, termasuk dosa asal, sehingga mereka akan diselamatkan. Namun, bagi anak-anak, khususnya bayi-bayi yang belum mengerti pertimbangan moral dan sebelum berbuat dosa atas kemauan mereka sendiri, sekalipun secara status memiliki dosa asal, saya percaya secara otomatis darah Yesus Kristus akan menebus status dosa asal mereka.
Dengan demikian kita melihat hubungan antara Adam dan kita: from sin to sin (dari dosa kepada dosa). Ini merupakan bentuk relasi yang pertama. Dosa apa? Dosa ketidak-taatan menuju ke dosa ketidak-taatan. Ini merupakan representasi di dalam Adam, yang mewakili kita, sehingga timbul suatu relasi antara Adam dan kita, yaitu relasi “dari dosa kepada dosa”.
[3]. TAMAN GETSEMANI : PERWAKILAN KETAATAN.
Kristus satu-satunya yang taat mutlak kepada Allah. Maka Tuhan Allah melihat di dalam Kristus suatu kelompok yang taat, suatu umat yang taat kepada Dia, dan inilah anak-anak ketaatan. Di dalam ayat yang kita baca, kita melihat bahwa Kristus telah belajar taat, dan belajar menderita, dan supaya menjadi sempurna.
Dari perwakilan ini kita melihat tiga prinsip penting yangmerupakan tiga jalan untuk berada di bawah perwakilan Kristus, yaitu: (1) ketaatan; (2) belajar menderita; dan (3) menjadi sempurna. Jika kita mau menjadi orang yang sempurna, tidak ada cara lain selain berani menderita, lalu belajar ketaatan. Di sinilah kesulitan manusia.
Orang yang belajar biola, ia sedang belajar salah satu alat musik yang paling sulit, karena ia akan menjadi tidak seimbang dalam banyak hal. Tinggi badan kanan akan menjadi lebih tinggi dari kiri, juga tangan kanan akan memiliki gerakan yang lebih lincah, tetapi tangan kiri yang lebih kaku. Jari kiri menjadi sangat dinamis, tetapi jari kanan menjadi kaku.
Jika orang bermain piano, posisi tubuh dan kelincahan tangan kanan dan kirinya akan sama dan seimbang. Tetapi, walaupun biola adalah alat yang paling sulit dipelajari, justru biola-lah yang dapat memberikan suara yang paling mendekati suara manusia. Ketika tuts piano dipukul dengan keras, nada yang terdengar tampak gagah sekali. Tetapi sulit untukbisa mengekspresikan perasaan sekuat biola. Musik yang paling indah memerlukan sengsara yang paling besar.
Mau menjadi orang yang mulia, harus menerima kepahitan yang hebat. Mau sukses besar harus didisiplin dengan sangat keras. Tanpa mau taat tidak pernah akan jadi. Kalau mau mudah, belajar saja organ; sebentar tekan sana, tekan sini, lalu bisa berbunyi seperti satu orkestra. Tetapi orang yang mengerti musik akan mengerti bahwa itu adalah suara tiruan, bagaimana pun suara organ tidak bisa seperti suara aslinya, dan semua menjadi sangat mekanis. Dalam permainan organ, kalau satu keras, semua akan ikut keras. Tidak bisa suara biolanya keras, suara drumnya lembut, lalu semakin keras (crescendo), dan biola menjadi semakin lembut (decrescendo), lalu terompet dari lembut menjadi keras.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca ada anak berusia empat tahun yang sudah masuk universitas. Memang sepertinya terlihat ada anak genius, tetapi di lain pihak tidak ada anak kecil genius. Ada anak kecil, pada usia tiga tahun sudah menggubah musik, yaitu Wolfgang Amadeus Mozart. Tetapi tidak ada anak kecil yang mengerti bahwa kalau ada yang meninggal jangan terlalu bersusah hati. Mereka tidak mengerti hal-hal seperti itu.
Anak mengerti dan bisa membuat syair, itu mungkin. Tetapi anak mengerti bagaimana jiwa orang tua, itu hampir mustahil, karena untuk itu dibutuhkan pengalaman-pengalaman kepahitan. Kita tidak akan pernah melihat ada seorang tua yang sedang menangis sedih, lalu seorang anak kecil membelai sambil mengatakan, “Jangan terlalu sedih, memang kehidupan manusia itu seperti begini, penuh kesusahan dan penderitaan.” Tidak ada kejeniusan dalam hal moral, demikian juga dalam hal spiritual. Dalam kedua hal tersebut, terlalu sulit bagi seseorang untuk menjadi genius.
Dalam Alkitab kita melihat hanya ada satu manusia yangsungguh-sungguh sempurna. Dan manusia itu sebenarnya adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Dia adalah Yesus Kristus. Dia menjadi representasi seluruh umat. Yesus dilahirkan di sebuah palungan, di kandang binatang yang begitu hina dan kotor.
Dia rela hidup begitumenderita. Ia bahkan rela menderita sampai mati di Golgota. Dari Bethlehem sampai ke Golgota, perjalanan hidup-Nya adalah perjalanan yang penuh duri, hidup di dalam lembah-lembah kekelaman dan tempat-temnpat yang berbahaya. Dari Bethlehem sampai ke Golgota, Dia telah menyatakan diri sebagai wakil umat manusia untuk menyatakan bagaimana manusia harus hidup untuk memperkenan hati Tuhan Allah.
Sebagaimana kita seharusnya hidup dan menyatakan diri di hadapan Allah, demikianlah Kristus hidup sebagai satu-satunya perwakilan yang sah, sehingga jika Tuhan Allah melihat dari sorga kepada dunia ini, Ia akan mengatakan: “Lihatlah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”
Allah demikian terharu dan tergerak hati-Nya, sehingga Ia beberapa kali harus membuka tabir sorga dan mengungkapkan perkenanan-Nya atas Anak-Nya yang tunggal. Yesus Kristus mengungkapkan kepada murid-murid-Nya, bagaimana seharusnya hidup sebagai orang yang berkenan kepada Allah. Allah begitu sungguh-sungguh menunjuk kepada Kristus yang adalah wakil arus hidup yang berkenan kepada Allah.
Baca Juga: Iman Sebagai Pondasi Kristen
Karya ketaatan Kristus yang mutlak menjadikan seluruh umat manusia memiliki pengharapan. Apa yang telah hilang dari diri kita di dalam Adam, bisa kita dapatkan kembali di dalam Kristus. Apa yang kita hancurkan oleh Adam, hanya mungkin disempurnakan kembali oleh Kristus. Apa yang kita rusak di dalam arus hidup Adam, hanya mungkin dipulihkan di dalam ketaatan Kristus.
Ia menaati seluruh perintah Allah, sehingga Ia tidak menghalangi sedikit pun apa yang telah direncanakan oleh Allah di dalam hidup seluruh umat manusia yang diwakili-Nya. Itu sebabnya, kita harus mengerti arti“dari iman kepada iman” jika kita mau mengerti perjalanan hidup yang berdasarkan pada iman yang dimulai di dalam Kristus dan digenapkan juga di dalam Kristus.
Permulaan iman yang diberikan kepada kita oleh Yesus Kristus adalah “dari iman kepada iman”yang didasarkan pada ketaatan diri-Nya. Adam boleh disebut sebagai bapa orang yang tidak beriman dan yang tidak taat. Sementara Yesus Kristus disebut sebagai Bapa orang beriman dan yang taat.
SUMBER :
Nama buku : DARI IMAN KEPADA IMAN (FROM FAITH TO FAITH)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2004.
Halaman : 41 – 57